Bagaimana sistim lelang dapat membantu membangun perumahan ramah lingkungan yang terjangkau di Indonesia

This page in:
Griya Garuda Lima Subang, Proyek Perumahan bersertifikat EDGE di Indonesia Griya Garuda Lima Subang, Proyek Perumahan bersertifikat EDGE di Indonesia

Rumah adalah kebutuhan penting, namun membangun rumah mungkin tidak selalu ramah lingkungan. Secara global, sektor bangunan dan konstruksi menghasilkan sekitar 40 persen dari total emisi CO2, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konstruksi bangunan “hijau” yang dapat menghemat energi dan hemat sumber daya adalah kunci untuk mengurangi dampak iklim dari sektor perumahan. Selain itu, bangunan hijau yang hemat sumber daya dapat mengurangi penggunaan air dan menurunkan biaya utilitas (mis. listrik, air bersih, dsb.). Hal ini menguntungkan terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah , yang pada umumnya menghabiskan hingga 20 persen dari pendapatannya untuk biaya utilitas. Namun, adanya persepsi bahwa konstruksi bangunan hijau membutuhkan lebih banyak biaya membuatnya menjadi kurang menarik.

Sebuah studi penelitian Bank Dunia menganalisis bagaimana sistem lelang dapat mendorong perluasan pembangunan perumahan yang lebih ramah iklim bagi penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Kebutuhan perumahan jenis ini terus mengalami peningkatan secara signifikan dan akan terus berkembang, seiring pertumbuhan ekonomi yang memperbaiki kesejahteraan banyak rumah tangga. Model Lelang Iklim adalah mekanisme inovatif pembayaran berbasis kinerja yang diujicobakan oleh Grup Bank Dunia untuk mendorong investasi pada proyek-proyek yang mengurangi emisi gas rumah kaca, sekaligus memaksimalkan dampak penggunaan dana pemerintah serta meningkatkan pembiayaan oleh sektor swasta.

Masih ada peluang besar untuk membangun lebih banyak lagi perumahan yang ramah lingkungan bagi penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Meskipun sudah ada kriteria bangunan hijau yang diperkenalkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, masih belum terjadi peningkatan pembangunan perumahan bagi segmen ini yang memenuhi syarat sertifikasi bangunan hijau EDGE (Keunggulan Desain untuk Efisiensi) dari International Finance Corporation (IFC). Sertifikasi tersebut mensyaratkan adanya penghematan pada penggunaan air, listrik, dan energi yang terdapat pada bahan bangunan sebesar 20 persen jika dibandingkan dengan pembangunan rumah secara standar. Tantangan lainnya adalah belum ada peraturan yang mengharuskan konstruksi hijau menjadi bagian dari program subsidi perumahan dari pemerintah.

 

Emisi lebih rendah, biaya utilitas lebih murah

Keterlambatan dilakukannya konstruksi bangunan hijau mengakibatkan terlewatkannya dua peluang penting. Pertama, pemerintah dan banyak keluarga gagal memanfaatkan kesempatan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan sektor perumahan dan konstruksi. Kedua, pengembang perumahan melewatkan kesempatan untuk menurunkan biaya utilitas bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Bagi pengembang, biaya tambahan untuk membangun rumah bersertifikasi hijau tidaklah terlalu besar. Tambahan biaya yang mencakup lampu hemat energi, keran dengan aliran air kecil, dan cat luar ruangan yang reflektif untuk mengurangi panas di dalam rumah, maupun komponen lainnya agar dapat mencapai efisiensi sumber daya sebesar 20 persen sesuai standar EDGE, hanya sebesar 5 hingga 7 persen untuk unit rumah dan 3 hingga 6 persen persen untuk rumah susun.

Penelitian kami menunjukkan bahwa pengembang perumahan masih akan mengharapkan dukungan yang layak dalam hal keuangan maupun peraturan sebagai insentif untuk membangun secara ramah lingkungan. Insentif yang dibutuhkan berkisar antara US$5.60 hingga US$21.80 (Rp 80.000 – Rp 309.000) per m2 rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah bersertifikat EDGE yang dibangun, tergantung pada tipe dan lokasi perumahan.

Bagi rumah tangga Indonesia, konsep perumahan hijau sangatlah menarik. Berdasarkan perhitungan di empat kota (Jakarta, Bandung, Semarang dan Balikpapan), setiap meter persegi unit rumah yang memiliki sertifikasi standar EDGE dapat menghemat sekitar 20 kWh listrik, 1.000 liter air, dan mengurangi emisi CO2 sebesar 16 kg per tahun. Artinya, rata-rata rumah tangga berpenghasilan rendah dengan rumah seluas 30 m2 dapat memotong tagihan listrik hingga US$63.50 (Rp 900.000) per tahun.

 

Penghematan besar

Biaya tambahan untuk membangun perumahan bersertifikat EDGE dapat kembali dalam waktu tiga tahun melalui penghematan biaya-biaya utilitas. Namun, rumah tangga berpenghasilan rendah yang tidak mampu menanggung biaya yang tinggi di awal cenderung tidak mampu membayar biaya tambahan dari rumah bersertifikat EDGE, karena pengembang membebankan biaya ini kepada pembeli rumah.

Image

Gambar: Manfaat rumah bersertifikasi EDGE Standard, jika dibandingkan dengan rumah konvensional untuk keluarga berpenghasilan rendah

 

Dari sisi ekonomi makro dan kebijakan iklim, penghematan ini dapat memberikan dampak yang signifikan. Pembangunan 200.000 unit rumah ramah lingkungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah diperkirakan dapat memberikan penghematan listrik sebesar 122 GWh/tahun dan penghematan air sekitar 7 juta m3/tahun, secara keseluruhan setara dengan penghematan sebesar US$ 12,4 juta (IDR 175,9 miliar) untuk tagihan utilitas setiap tahunnya – dengan asumsi biaya-biaya konstruksi di Bandung, Jawa Barat. Untuk mencapai penghematan ini, maka pemerintah perlu menambah biaya konstruksi sekitar US$ 43,35 Juta (Rp 614,8 miliar). Berdasarkan skenario ini, setiap ton pengurangan CO2 akan menelan biaya sekitar USD 17,4 (Rp 246.800).

Untuk memanfaatkan sepenuhnya peluang penghematan ini, Grup Bank Dunia mendukung pemerintah Indonesia dalam menjajaki solusi hemat biaya untuk memberikan dampak maksimal bagi program subsidi perumahan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan model lelang iklim , di mana pengembang perumahan dapat turut serta dalam suatu proses penawaran/ tender yang diberikan pemerintah dalam bentuk jaminan harga bagi pengembang yang mampu mewujudkan perumahan yang memenuhi standar penghematan dan sertifikasi dengan biaya terendah.

Sementara kebijakan hijau, peraturan dan sosialisasi standar bangunan hijau berperan penting dalam mendorong dikembangkannya bangunan hijau, bentuk-bentuk insentif yang inovatif seperti mekanisme sistem lelang atau mekanisme pembiayaan seperti kredit karbon juga merupakan bagian dari solusi. Meskipun pengembangan bangunan hijau untuk keluarga berpenghasilan rendah mungkin tidak mengakibatkan tambahan biaya konstruksi yang jauh lebih mahal, pemerintah juga dapat membantu memperbaiki persepsi risiko pengembang dengan memberikan insentif yang menunjukkan bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai standar yang lebih hijau dapat memberikan manfaat besar, baik bagi pemilik rumah maupun bagi iklim/ lingkungan.


Authors

Dao Harrison

Senior Housing Specialist

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000