Bukan sembarang pekerjaan: perspektif dari sisi permintaan, bagaimana menciptakan lebih banyak pekerjaan kelas menengah untuk orang Indonesia

This page in:
Petugas kebersihan di Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta. Foto: Josh Estey/World Bank Petugas kebersihan di Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta. Foto: Josh Estey/World Bank

Suryo saat ini adalah seorang pengemudi bajaj di Jakarta. Dulu ia bekerja sebagai pekerja produksi di sebuah pabrik tekstil, namun Suryo kehilangan pekerjaannya saat Krisis Keuangan Asia pada tahunn 1997. Didorong oleh tingkat urbanisasi yang cepat, dan setelah beberapa kali gagal membuat usaha rumahan sendiri, Suryo memutuskan untuk menjadi pengemudi bajaj. Saat ini ia menghabiskan waktunya sepanjang hari melintasi jalan raya yang berdebu dan padat untuk mencari atau membawa pelanggan. Pada hari yang baik, Suryo menghasilkan sekitar Rp 100.000 – cukup untuk memberi makan keluarganya, yang terdiri dari empat orang, untuk hari itu saja.

Seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, Suryo tidak memiliki pekerjaan “kelas menengah”. Ini didefinisikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan kelas menengah (setidaknya Rp 3,8 juta per bulan, dengan menggunakan harga di tahun 2018) dan memberikan tingkat keamanan pendapatan dan tunjangan pekerjaan yang sesuai dengan harapan penduduk kelas menengah.

Pada tahun 2018, dari 85 juta pekerja yang menerima pendapatan[1] di Indonesia, hanya 13 juta yang menerima pendapatan kelas menengah. Lebih sedikit lagi (3,5 juta) yang selain menerima pendapatan kelas menengah, juga menikmati tunjangan pekerjaan yang lengkap dan memiliki kontrak kerja dengan jangka waktu tidak terbatas (permanen). Pekerjaan ini sebagian besar terkonsentrasi di sektor yang lebih produktif, seperti manufaktur, yang  jumlah pekerjanya lebih sedikit (Gambar 1).

Gambar 1: Sektor yang lebih produktif cenderung menghasilkan pendapatan yang lebih baik, tetapi mempekerjakan lebih sedikit pekerja

More productive sectors tend to pay better wages, but employ few workers

Sepintas, jumlah pekerjaan kelas menengah di Indonesia yang tidak mencukupi sedikit membingungkan. Seperti banyak ekonomi Asia Timur lainnya, Indonesia mengalami industrialisasi yang cepat melalui pertumbuhan ekspor manufaktur dan urbanisasi pada 1980-an dan 1990-an, yang menyebabkan jutaan pekerja beralih dari pekerjaan pertanian ke non-pertanian, terutama pekerjaan manufaktur. 'Gelombang pertama' transformasi struktural ini meningkatkan pendapatan pekerja di Indonesia dan karenanya membantu mengurangi kemiskinan secara signifikan.

Namun, jenis transformasi struktural ini berubah setelah Krisis Keuangan Asia 1997. Perekonomian Indonesia bergeser menjadi model pertumbuhan berbasis sumber daya alam, sehingga mengurangi kualitas lapangan kerja yang tercipta. Selama periode ledakan komoditas ini (commodity boom), nilai tukar riil Rupiah terapresiasi terhadap dollar Amerika dan mata uang negara-negara Asia lainnya. Selain itu, dikombinasikan dengan lingkungan bisnis yang lemah yang mengurangi daya saing dan daya tarik investasi asing langsung, menurunnya pangsa sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah, ekspor, dan lapangan kerja sektor tersebut, mengakibatkan deindustrialisasi dini (pre-mature deindustrialization).

Meskipun pekerja terus beralih dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian selama transformasi struktural ‘gelombang kedua’ ini, mereka sebagian besar beralih ke pekerjaan di sektor jasa yang memiliki nilai tambah rendah, misalnya, sebagai pemilik warung kelontong, warung makan atau pedagang kaki lima, dan pengemudi ojek atau bajaj. Mereka tidak beralih ke pekerjaan manufaktur, misalnya sebagai pekerja produksi di pabrik.

Pekerjaan di sektor jasa dengan nilai tambah rendah memang lebih produktif daripada pekerjaan di sektor pertanian secara rata-rata, tetapi perbedaan produktivitasnya sangat sedikit. Ketika ledakan komoditas berakhir di sekitar tahun 2012, Indonesia tidak kembali ke model pertumbuhan ekonomi seperti sebelum Krisis Keuangan Asia 1997, yaitu pertumbuhan yang didorong oleh ekspor manufaktur. 

Oleh karena itu, kurangnya jumlah pekerjaan kelas menengah saat ini adalah akibat dari peningkatan produktivitas yang terbatas dari transformasi struktural ‘gelombang kedua’. Meskipun pertumbuhan produktivitas tenaga kerja adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dekade terakhir, sebagian besar pertumbuhan produktivitas tenaga kerja terjadi karena peningkatan efisiensi di dalam sebuah sektor (Gambar 2), dan bukan karena pergerakan pekerja antar sektor yang juga sering disebut sebagai transformasi struktural (khususnya, dari sektor dengan rata-rata produktivitas yang rendah ke sektor dengan rata-rata produktivitas yang lebih tinggi).


Gambar 2: Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja telah mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tetapi kontribusi transformasi struktural di Indonesia lebih kecil daripada di negara lain

Labor productivity growth has driven economic growth in Indonesia, but the contribution of structural change is smaller than in other countries

Kontribusi transformasi struktural terhadap pertumbuhan nilai tambah per kapita tahunan di Indonesia selama 2000-2017 hanya 1 poin persentase, lebih kecil daripada Vietnam (2,1 poin persentase), Thailand (1,3 poin persentase), dan Tiongkok (1,1 poin persentase).

Yang menjadi prioritas dengan adanya COVID-19 adalah melindungi pekerjaan yang ada. Namun, membangun transformasi struktural ‘gelombang ketiga’ yang tepat akan sangat penting untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan kelas menengah dalam jangka menengah. Untuk mempercepat transisi pekerja dan kegiatan ekonomi dari pekerjaan dengan produktivitas rendah menjadi produktivitas tinggi, perusahaan, sektor, dan pemerintah dapat menerapkan kebijakan untuk memprioritaskan strategi promosi investasi di sektor-sektor yang paling sesuai dengan penciptaan lapangan kerja kelas menengah – seperti sektor teknologi, informasi, dan komunikasi, sektor keuangan dan bisnis lainnya, sektor kesehatan, sektor pendidikan, dan sektor manufaktur – yang dapat meningkatkan permintaan tenaga kerja di sektor-sektor ini.

Pemerintah juga dapat memfasilitasi perpindahan pekerja ke pekerjaan, perusahaan, dan sektor dengan produktivitas lebih tinggi dengan menutup kesenjangan informasi. Hal ini dilakukan melalui sistem informasi pasar tenaga kerja yang lengkap dan dinamis serta mekanisme pencocokan pekerjaan; undang-undang yang tidak menghilangkan atau mengurangi insentif terkait perubahan pekerjaan; dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk membiayai pekerja selama mereka mencari kerja dan relokasi tempat kerja.

Terakhir, investasi secara terus menerus terkait keterampilan pekerja Indonesia saat ini dan masa depan menjadi sangat penting agar tenaga kerja lokal bisa mengisi lowongan baru pekerjaan kelas menengah . Ini bisa dilakukan dengan memberi dukungan kepada murid sekolah menengah atas atau tingkat   dibawahnya yang berisiko putus sekolah untuk mendorong mereka menyelesaikan sekolah; mengajarkan keterampilan interpersonal, analitis, dan digital nonrutin kepada siswa dan pelajar dewasa melalui kurikulum dan metode pedagogis yang direvisi; meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan teknis dan sekolah kejuruan; dan terakhir, memberi dukungan yang sesuai untuk kelompok-kelompok dengan kebutuhan pasar tenaga kerja khusus, seperti perempuan, pemuda, dan pekerja dengan disabilitas. Hal ini akan membantu lebih banyak orang Indonesia memanfaatkan pekerjaan dengan kualitas yang lebih baik.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang agenda reformasi ketenagakerjaan di Indonesia, silakan lihat laporan kami yang baru di sini.

[1] Pekerja penerima pendapatan termasuk pekerja buruh, pekerja lepas, and pekerja mandiri.  Pekerja penerima pendapatan tidak termasuk pekerja keluarga yang tidak dibayar dan pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja.  

 

Tautan terkait:

Publikasi: Langkah Menuju Pekerjaan Kelas Menengah di Indonesia


Authors

Pui Shen Yoong

Economist and Young Professional, World Bank

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000