Bukti dan analisis, ketika dipakai dengan baik, bisa menjadi dasar membuat kebijakan yang efektif. Namun, apa yang terjadi ketika sebuah laporan analitis dipublikasikan dan temuannya disebarluaskan? Pada kasus terburuk, sebuah laporan bisa saja hanya tersimpan sampai berdebu di lemari.
Sebaliknya, pada kasus terbaik, bukti yang kuat dan yang disiapkan dengan baik bisa membawa dampak nyata bagi mereka yang kurang beruntung. Belum lama ini kami berusaha mencari tahu bagaimana mempraktikkannya untuk kasus di Indonesia.
Bantuan sosial yang efektif merupakan sesuatu yang bukan saja penting untuk membantu masyarakat keluar dari kemiskinan, tapi juga untuk menjaga agar mereka tidak jatuh miskin. Namun sering kali program-program dengan tujuan yang baik tidak menjangkau mereka yang paling memerlukannya. Masyarakat miskin tetap miskin, masyarakat rentan tetap berisiko jatuh ke dalam kemiskinan karena guncangan,, dan ruang fiskal terbuang untuk program-program yang tidak mencapai tujuannya.
Dalam beberapa tahun terakhir isu ini menjadi penting bagi Indonesia, seiring dengan melambatnya tingkat penurunan kemiskinan yang sebelumnya turun pesat, dan juga seiring dengan rencana b penambahan belanja untuk pendidikan dan kesehatan setelah melakukan reformasi besar subsidi.
Satu perkara besar yang sedang ditangani beberapa kementerian Indonesia adalah memperbaiki daftar penerima manfaat, memberi bantuan di satu bidang tapi belum tentu di bidang lain. Hal ini telah mengakibatkan sasaran program tidak menjangkau secara merata, ada yang menerima tepat apa yang mereka perlukan, tapi ada juga yang tidak. Perlu diingat bahwa dengan tidak menerima bantuan pangan atau kesehatan atau uang tunai bisa berdampak besar bagi seseorang yang hidup dalam kemiskinan, dan bisa menjadi tantangan sangat besar bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Pemerintah Indonesia sedang membuat solusi untuk masalah ini, untuk memastikan bahwa mereka yang paling memerlukan bantuan mendapatkam bantuan yang tepat, di waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat.
Pegembangkan sumber data nasional tunggal berisi daftar keluarga miskin dan rentan jelas akan mengurangi tumpang-tindih dan j, juga membantu agar bantuan sosial benar-benar mencapai masyarakat miskin. Tiap kementerian bisa menggunakan sumber data terpusat yang mengambil data terkini berisi daftar keluarga yang berada di 40 persen terbawah dari distribusi pendapatan nasional, sehingga perlu mendapat bantuan.
Seperti halnya reformasi besar lainnya, ini tidak bisa terjadi hanya dalam satu hari. Para ahli dari pemerintah Indonesia mulai bertukar pikiran dengan mitra dari Bank Dunia untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan, tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari Meksiko, Brasil, Georgia, Filipina dan negara-negara lain yang memiliki masalah serupa. Dengan cara ini, Indonesia tidak perlu mulai dari nol, tapi bisa belajar dari pengalaman negara lain untuk menciptakan solusi sendiri. Mereka terus bekerja erat dengan mitra dari Bank Dunia untuk mengembangkan sebuah daftar, yang disebut Sumber data Tunggal, dan sekarang dikelola secara independen on Kementerian Sosial.
Apakah berhasil?
Dilihat dari angka, kerangka kerja sumber data tunggal dan bantuan sosial Indonesia jauh lebih efektif dari pada pendekatan sebelumnya. Pada tahun 2005, dari 10 persen keluarga termiskin, hanya 68 persen yang mendapat Raskin atau Jamkesmas, dua program bantuan sosial utama pada saat itu.
Sejak tahun 2014, dengan pendekatan sasaran baru yang terpusat, rata-rata 85 persen dari 10 persen keluarga termiskin sekarang menerima setidaknya satu program bantuan sosial. Pemerintah pun masih terus berusaha untuk meningkatkan cakupan tersebut. Tapi bila kamu berada dalam 15 persen yang belum terjangkau, tingkat keberhasilan 85 persen tidak akan ada artinya – karena akan tetap ada rasa kurang, dengan tidak menerima bantuan pangan, kesehatan, dan pendidikan yang bisa membantu keluargamu.
Untuk lebih mengetahui cara kerjanya, kami berbicara dengan beberapa orang yang tinggal di kawasan termiskin di Jakarta. Tidak sulit untuk melihat besarnya ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin – kami melewati sebuah mall berlantai empat yang mewah, dan hanya beberapa menit dari sana kami tiba di perumahan kumuh dekat pelabuhan.
Suyatmi, salah seorang perempuan yang kami temui, memberitahu bahwa dia belum pernah menerima bantuan, dan ia terpaksa sering berpuasa untuk mengalahkan rasa lapar.
Di tempat lain, kami bertemu perempuan bernama Nia. Rumahnya terletak sangat dekat dengan rel kereta api sehingga suara dan guncangan keitka kereta lewat sering membuatnya terbangun di malam hari.
Nia merasa bahwa yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.Namun ia sudah menerima beberapa bantuan pangan, dan baru saja menerima kartu jaminan kesehatan waktu kami bertemu dengannya bulan Desember lalu.
Dan yang terakhir kami bertemu dengan Harun Nur. Ia bercerita bahwa ia bisa mendapat perawatan gratis untuk penyakit infeksi paru-paru kronis menggunakan jaminan kesehatan.
Jadi melihat ke depan, masih banyak pekerjaan rumah agar sistem sasaran menjadi lebih efektif. Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, mengatakan pada kami bahwa mereka menggunakan banyak waktunya untuk menjangkau sisa 15 persen keluarga. Vivi Alatas, kolega kami di Bank Dunia kantor Jakarta, memberi tahu salah satu alasan mengapa sisa 15 persen tersebut sulit tertangkap. “Kemiskinan di Indonesia sifatnya sangat cair, setiap saat ada orang yang keluar-masuk dari kemiskinan,” katanya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjaga agar sumber data terpusat selalu up to date.
Indonesia hanya salah satu contoh bagaimana analisis yang baik bisa memperbaiki hidup masyarakat termiskin – tapi masih banyak negara lain. Kami akan terus membuat profil mereka untuk menunjukkan besarnya dampak dari bukti yang baik bagi penduduk termiskin di dunia.
Join the Conversation