Dalam 50 tahun terakhir, lautan menyerap lebih dari 90 persen pemanasan global. Umat manusia patut mensyukuri ini. Penyerapan panas tersebut melindungi masyarakat dari kenaikan suhu yang lebih tinggi.
Akan tetapi, lautan tidak kebal terhadap dampak panas yang semakin meningkat. Peningkatan suhu air berdampak terhadap sektor perikanan, tingkat keparahan badai, kenaikan permukaan laut, dan menyebabkan pergeseran ekosistem pesisir. Dampak perubahan iklim terhadap laut sangat besar, mengingat bahwa sektor perikanan merupakan sumber mata pencaharian bagi lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia dan lebih dari 3 miliar orang mengandalkan makanan dari laut sebagai sumber protein.
Analisis Bank Dunia, bekerja sama dengan University of British Columbia dan mitra pemerintah di beberapa negara, berupaya untuk mengukur dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim. Analisis tersebut memperkirakan bahwa hasil tangkapan ikan di banyak negara Afrika, seperti Republik Demokratik Kongo, Pantai Gading, Guinea Ekuatorial, Gabon, Liberia, serta São Tomé dan Príncipe, dapat menurun hingga lebih dari 30 persen pada tahun 2050. Demikian pula, hasil tangkapan ikan komersial utama di Indonesia, seperti ikan lemuru, ikan selar, ikan kembung, dan ikan cakalang, dapat menurun hingga 20-30 persen selama periode yang sama (Gambar 1).
Gambar 1: Proyeksi perubahan volume tangkapan ikan di perairan Indonesia (MCP = potensi tangkapan maksimum) pada pertengahan abad (2030-50) dalam skenario emisi rendah (RCP2.6) dan skenario emisi tinggi (RCP8.5).
Laporan yang baru saja diterbitkan, “Peningkatan Suhu Air Laut: Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Perikanan dan Masyarakat Pesisir di Indonesia”, disusun oleh Bank Dunia, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, dan University of British Columbia, dengan dukungan dari PROBLUE dan Packard Foundation, membahas tantangan-tantangan tersebut dan menyediakan berbagai pilihan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Total keuntungan ekonomi dari sektor perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesia diproyeksikan akan menurun sebesar 15 persen di bawah skenario emisi rendah dan sebesar 26 persen di bawah skenario emisi tinggi pada tahun 2050. Dampak yang ditimbulkan sangat besar bagi Indonesia, mengingat bahwa sektor perikanan berkontribusi USD 26,9 miliar per tahun untuk perekonomian nasional, merupakan sumber 50 persen protein di tingkat nasional, dan menyediakan lebih dari 7 juta lapangan kerja.
Total keuntungan ekonomi dari sektor perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesia diproyeksikan akan menurun sebesar 15 persen di bawah skenario emisi rendah dan sebesar 26 persen di bawah skenario emisi tinggi pada tahun 2050.
Akan tetapi, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan yang kuat dapat membantu mengimbangi kerugian yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Sebagai contoh, upaya untuk mencegah penangkapan ikan berlebih (dengan mempertahankan total upaya penangkapan ikan sebesar 80 persen dari hasil maksimum yang berkelanjutan), akan mencegah kerugian di sektor penangkapan ikan skala besar dan diproyeksikan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi sebesar 4-6 persen dari saat ini. Di sektor skala kecil, upaya untuk mencegah penangkapan ikan berlebih akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan, dari 17-19 persen menjadi 9-10 persen (Gambar 2). Perbedaan dua sektor tersebut terletak pada spesies ikan yang ditangkap oleh masing-masing sektor
Gambar 2: Proyeksi perubahan keuntungan ekonomi bagi sektor perikanan skala kecil dan skala besar (ditentukan oleh ukuran kapal, yakni di bawah dan di atas 10 GT). Persentase perubahan keuntungan ekonomi (pendapatan dikurangi biaya) pada tahun 2050 dibandingkan dengan keuntungan saat ini.
- Memperkuat pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan yang kuat menjadi garis pertahanan pertama melawan perubahan iklim, dengan mempertahankan populasi ikan sebagai buffer terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia berencana untuk mengoperasikan sistem pengelolaan perikanan yang terdesentralisasi dan dapat menyediakan pengelolaan responsif di tingkat lokal. Sistem tersebut mencakup kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, yang memberikan fleksibilitas lebih besar mengenai kapan dan berapa banyak ikan yang ditangkap, dalam batas yang ditetapkan. Langkah-langkah lain, seperti perluasan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP), dapat meningkatkan keselamatan di laut dan menyediakan data untuk mendukung pengambilan keputusan pengelolaan perikanan. Penutupan cepat dan tepat sasaran (“pengelolaan dinamis”) dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sektor perikanan selama gelombang panas laut.
- Melindungi ekosistem pesisir. Ekosistem yang sehat menjadi fondasi perekonomian kelautan yang berketahanan iklim. Perluasan Kawasan Konservasi Perairan, dengan berfokus pada lokasi dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, tempat pembibitan ikan, dan peningkatan kapasitas pengelolaan, dibutuhkan di seluruh dunia. Perlindungan hutan mangrove di kawasan pesisir juga berperan penting, mengingat bahwa mangrove berperan besar dalam melindungi garis pantai dari erosi dan mendukung sektor perikanan. Upaya untuk mengintegrasikan mangrove ke dalam kerangka REDD+ nasional untuk memfasilitasi pembiayaan karbon juga akan membantu. Protokol pengambilan sampel secara terstandardisasi untuk terumbu karang, mangrove, dan padang lamun akan meningkatkan upaya pemantauan secara sistematis – sebagai bagian penting dari pengelolaan. Indonesia adalah salah satu negara yang berinvestasi pada ekosistem laut melalui Proyek Lautan Sejahtera (LAUTRA) yang dibiayai oleh Bank Dunia dan Proyek Mangrove untuk Ketahanan Pesisir.
- Pemberdayaan masyarakat pesisir. Memastikan bahwa masyarakat memiliki beragam peluang ekonomi akan berperan penting bagi adaptasi jangka panjang, menciptakan rasa aman, dan memberikan insentif agar masyarakat bersedia untuk beralih ke sektor baru. Dibutuhkan pendekatan holistik untuk menyediakan pendanaan, keterampilan bisnis, dan akses pasar untuk mendukung pertumbuhan bisnis dan mengurangi ketergantungan pada sektor perikanan. Dukungan tambahan dapat diberikan melalui sistem perlindungan sosial dan asuransi iklim (yang dapat disesuaikan untuk menutupi kerugian yang dialami nelayan akibat badai atau gelombang panas laut).
Ketahanan iklim tidak dapat dipisahkan dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Peningkatan pendapatan dan keselamatan nelayan, produktivitas stok, dan diversifikasi ekonomi berkaitan erat dengan target iklim dan pembangunan. Langkah-langkah tersebut akan mendukung masyarakat pesisir dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia.
Join the Conversation