Available in English
Saya pertama kali berkunjung ke Aceh pada Agustus 1998, empat bulan setelah mantan Presiden Soeharto meletakkan jabatannya. Saat itu adalah puncak gerakan Reformasi di Indonesia, dan banyak wartawan yang mengira bahwa masih dibutuhkan izin kunjungan untuk pergi ke Aceh, seperti yang memang dibutuhkan selama beberapa dekade. Saya dan rekan saya berkunjung sebagai “wisatawan”. Warisan penindasan memang masih banyak tersisa di banyak desa: runtuhan rumah-rumah, sekolah-sekolah yang tutup dan rumah tangga yang dikepalai oleh janda-janda. Kemiskinan tidak dapat dihindari: kekerasan dan pertumbuhan ekonomi hampir tidak pernah berjalan bersama.
Setelah kunjungan pertama, saya kembali mengunjungi Aceh sekitar enam bulan sekali untuk beberapa tahun kemudian dan melihat bahwa emosi orang-orang berubah-ubah, dari kegembiraan dan sukacita, ke kecewa dan amarah, dan akhirnya rasa takut. Kebebasan telah ditawarkan, dan kemudian diambil kembali. Para keluarga menjadi bidak permainan catur politik. Mata pencaharian menguap dengan larinya masyarakat yang ketakutan ke perkemahan dan penampungan. Pemerintah pusat sesekali mengirimkan segelombang dana sebagai hasil desentralisasi sekaligus menyenangkan hati rakyat, tetapi di jalan-jalan, semua orang dapat merasakan rasa putus asa yang sangat kental.
Saya pindah ke luar negeri beberapa bulan sebelum tsunami menghantam pantai Aceh dan belum pernah menginjakkan kaki lagi di Aceh sejak itu.
Ketika tiba di bandara Banda Aceh bulan lalu, yang pertama kali mengejutkan saya adalah ukuran bandaranya: setidaknya dua kali lipat lebih besar dari yang lama. Ciri-ciri kota Banda Aceh masih sama – Mesjid Raya yang agung dan pasar di sampingnya – tetapi ukuran kota itu sendiri setidaknya sudah berlipat dua, atau bahkan berlipat tiga. Suatu pusat perbelanjaan yang besar berdiri megah di tempat yang dulunya adalah gedung satu lantai. Ribuan orang berlalu-lalang seperti tidak pernah mengenal konflik dan jam malam selama hidup mereka.
Pasca tsunami, banyak kedai kopi modern mulai bermunculan di Banda Aceh. Mereka tidak hanya menyediakan kopi tapi juga akses internet. |
Ramainya aktivitas tersebut menunjukkan kuatnya masyarakat Aceh – suatu kekuatan yang juga ditemui pada banyak kota di seluruh Indonesia. Tetapi keramaian itu juga menutupi sebuah kelemahan.
Rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh sudah mendekati tahap akhir. Multi-Donor Fund for Aceh and Nias (MDF) secara efektif akan berakhir pada bulan Desember 2012. MDF hanya menyumbangkan 10 persen dari keseluruhan dana rekonstruksi bernilai US$7 miliar bagi Aceh dan Nias, yang dilaksanakan oleh badan-badan pembangunan dan sektor swasta di bawah koordinasi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias. Pada akhirnya, tantangan besar dalam menciptakan lapangan kerja dan pembangunan berkelanjutan sebagian besar berada di tangan pemerintah daerah dan rakyat Aceh sendiri.
Pencapaian MDF selama sekitar enam tahun sangat berarti. Pada tingkat mikro, MDF membangun sekitar 20.000 rumah, 2.600 kilometer jalan-jalan desa, 1.600 kilometer irigasi dan saluran air, 8.000 fasilitas sanitasi air dan sumur, lebih dari 670 sekolah dan 511 kantor pemerintahan. Proyek-proyek makro termasuk jalan nasional dan provinsi sepanjang 572 kilometer, jalan kabupaten sepanjang 227 kilometer, 5 pelabuhan dan 11 fasilitas manajemen air dan batas pantai. Seluruh proyek itu memberikan lapangan kerja bagi rakyat Aceh. Tetapi banyak proyek telah berakhir atau sedang memasuki tahap akhir.
Pelatihan sumberdaya manusia juga cukup besar. Ribuan guru turut serta dalam lokakarya pembangunan kapasitas, seperti halnya pegawai negeri, anggota organisasi masyarakat sipil, dan mantan-mantan pejuang. Pengelolaan hutan ditargetkan melalui sejumlah prakarsa perlindungan lingkungan.
Tahap terakhir MDF merupakan tantangan terbesar, dan tahap itu menekankan pada transisi dari rekonstruksi ke pembangunan ekonomi jangka panjang. Pemerintah Aceh memiliki strategi untuk menghadapinya, dan strategi itu melibatkan peningkatan produktivitas dan dukungan kepada komoditas berikut: kakao, karet, beras, nilam dan perikanan. Jaringan industri sedang dibentuk dan diperkuat. Pembicaraan sedang dilakukan antara pemerintah dan sektor swasta tentang bagaimana maju ke depan.
Apakah semua upaya itu akan berhasil? Itu merupakan pertanyaan utama. Komitmen pemerintah tingkat atas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut sangatlah jelas dan nyata. Seperti biasanya, berbagai kesulitan seringkali dijumpai pada tahap pelaksanaan. Kadangkala niat baik saja tidaklah cukup.
Pemilihan umum provinsi dan daerah di Aceh sudah dekat. Bila keberhasilan pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa kerja sama yang erat antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, maka akan lebih sulit tanpa jaminan adanya perdamaian. Ketidakstabilan politik dan kekerasan merupakan rintangan bagi sebagian besar kegiatan ekonomi.
Aceh telah mencapai banyak kemajuan sejak hari-hari di mana kekerasan menguasai jalan-jalan. Saya masih mengingat hari-hari itu dengan baik, dan saya juga masih mengingat kemacetan ekonomi yang dialami oleh desa-desa maupun kota. Saya masih ingat akan jam malam dan blokade jalan yang menyebabkan jalan-jalan menjadi kosong, dan rasa takut yang menyebabkan sawah-sawah ditinggalkan petaninya. Aceh sekarang berada pada posisi untuk benar-benar meninggalkan semua hal itu di belakang. Saya harap Aceh benar-benar dapat melakukannya.
Lambung, Aceh, luluh lantah akibat tsunami. Tiga tahun kemudian, rumah dan jalan telah dibangun kembali. |
Join the Conversation