Pepatah mengatakan “Hidup bagaikan roda – kadang di atas, kadang di bawah”.
Era ‘booming komoditas’ ketika harga minyak mentah, kelapa sawit dan batu bara melambung tinggi sudah berakhir. Sudah seyogyanya hal ini ini menjadi lampu kuning bagi Indonesia, karena peralihan ekonomi ini telah mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja dalam beberapa tahun terakhir. Lalu, bagaimana Indonesia bisa terus menciptakan lapangan kerja baru untuk pencari tenaga kerjanya yang terus bertambah?
Jawabannya ada di sektor manufaktur dan jasa, seperti yang sudah terindikasi oleh pola sejarah yang ada.
Dalam waktu 20 tahun terakhir (di luar era krisis ekonomi di tahun 1997-1999), sektor manufaktur dan jasa menjadi sumber penting lapangan kerja baru di tengah menurunnya jumlah pekerjaan di sektor pertanian. Dari tahun 1999-2015, proporsi pekerjaan di bidang pertanian turun menjadi 34% dari 56%, dari total lapangan kerja, sedangkan sektor jasa mengalami kenaikan menjadi 54% dari 34% dan sektor manufaktur naik dari 10% menjadi 13%.
Pertumbuhan sektor jasa khususnya sangat mengesankan karena tingkat kenaikannya lebih cepat dari rata-rata PDB Indonesia dalam satu dekade terakhir ini. Hal ini membawa prospek besar bagi pencari kerja dan perbaikan ekonomi.
Antara tahun 2001 hingga tahun 2015, lebih dari 22,2 juta pekerjaan dari 23,8 juta pekerjaan baru ada di sektor jasa. Sektor manufaktur meraup 3,2 juta pekerjaan sedangkan sektor pertanian dan pertambangan kehilangan 1,6 juta pekerjaaan.
Selain itu, sektor jasa tingkat tinggi seperti keuangan, transportasi, pergudangan, dan komunikasi menjadi semakin penting untuk menopang sektor perekonomian lainnya. Menurut penelitian terkini oleh Bank Dunia, lebih dari 16 juta pekerjaan yang mendukung industri ekspor manufaktur berasal dari jasa.
Sektor jasa secara khusus juga memberi kesempatan bagi perempuan dan kelompok muda. Sebagian besar pekerjaan yang dimiliki perempuan pasca periode tahun 2007 tercipta di sektor jasa. Perempuan mengisi lebih dari 12 juta dari hampir 31 juta lapangan kerja yang tercipta di periode antara tahun 1993 hingga 2015.
Sementara itu pekerja muda yang berumur antara 15 hingga 24 tahun telah meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor jasa. Elastisitas pekerjaan kaum muda (pertumbuhan lapangan kerja untuk tiap satu persentase pertumbuhan output negara) hanya kuat di bidang pertambangan dan beberapa sub-sektor pelayanan jasa, khususnya di bidang konstruksi, penjualan grosir, hotel, restoran, keuangan dan beberapa jasa bisnis lainnya.
Penelitian Bank Dunia yang sama juga menyimpulkan bahwa sektor jasa merupakan sumber lapangan kerja yang lebih bisa diandalkan. Hal ini terlihat dari terus terciptanya lapangan kerja melalui periode yang berbeda dan di beberapa daerah.
Dari tahun 1993 hingga tahun 2015, elastisitas pekerjaan telah cukup kuat di daerah timur Indonesia dibanding pasar lapangan kerja di bagian barat Indonesia yang telah mengalami kejenuhan. Sementara itu, elastisitas pekerjaan di Jawa-Bali, Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi menurun di periode yang sama, sedangkan Kalimantan, Maluku dan Papua mengalami peningkatan.
Hal ini bisa menjadi indikasi adanya kenaikan produktivitas pekerjaan di daerah yang lebih aktif secara ekonomi di bagian barat Indonesia. Namun, meningkatnya elastisitas pekerjaan di daerah timur sebagian juga didorong oleh peningkatan tajam elastisistas pekerjaan di beberapa sektor seperti: pertambangan di Maluku, utilitas di Kalimantan dan keuangan serta pelayanan sosial di semua tiga daerah.
Elastisitas pekerjaan turun dari 0.51 di periode 1993-2006 menjadi 0.32 pada periode 2007-2015. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian yang berbasis padat karya berkurang dan pertumbuhan produktivitas naik. Walaupun pertumbuhan produktivitas tenaga kerja membaik di hampir semua sektor perekonomian – kecuali di personal dan layanan sosial – produktivitas di sektor dengan lapangan kerja baru paling banyak tidak lebih tinggi dari pertanian dimana banyak pekerjaan yang sudah ditinggalkan.
Bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia tumbuh lebih tinggi dari saat ini, dan terus menciptakan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik, maka perekonomian harus menghentikan dominasi sektor produktivitas rendah dan berfokus kepada sektor produktivitas tinggi. Pada saat yang sama juga memperbaiki produktivitas di masing-masing sektor.
Dan walaupun sudah ada pergeseran menjauh dari sektor pertanian, sektor ini masih menjadi sumber sekitar sepertiga dari total lapangan kerja. Kebijakan pemerintah harusnya dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, misalnya dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih.
Pembuat kebijakan harus bisa memastikan bahwa kemampuan pekerja harus terus membaik sehingga mereka dapat menopang pergeseran menuju sektor dengan produktivitas tinggi. Ketidakcocokan keterampilan harus diatasi dan sektor swasta harus ikut berkontribusi dengan melakukan pelatihan dan memperbaiki kemampuan pekerja mereka. Yang terakhir, kebijakan pelayanan kesehatan harus mengatasi tingginya kasus stunting – terhambatnya pertumbuhan anak – yang dialami oleh lebih dari 37 persen balita di Indonesia. Stunting mempengaruhi pertumbuhan otak dan menghambat potensi masa depan anak-anak untuk mengecap pendidikan tinggi.
Menjalankan langkah-langkah ini akan membantu Indonesia beralih menjadi perekonomian yang berbasis pengetahuan, sehingga memungkinan terjadinya pertumbuhan yang lebih tinggi dan naiknya daya saing Indonesia di pasar global.
Join the Conversation