Dapatkah ekonomi Indonesia keluar dari keadaan investasi yang tak menentu? Ini adalah salah satu pertanyaan yang diajukan dalam laporan Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia dari Bank Dunia edisi bulan Maret 2014.
Mengapa pertumbuhan investasi Indonesia tak menentu? Pertama, terdapat perlambatan dalam investasi tetap, karena turunnya kondisi perdagangan dan lebih ketatnya kondisi pembiayaan luar negeri.
Kedua, sementara investasi asing langsung (FDI)—sumber pembiayaan investasi yang penting—masih tetap kuat sejauh ini, laju pertumbuhan aliran masuk FDI yang tercatat pada beberapa tahun terakhir menunjukkan tanda-tanda mendatar.
Ketiga, Indonesia tetap bergantung kepada pembiayaan luar negeri dari aliran masuk modal investasi portofolio. Aliran itu telah meningkat pada beberapa bulan terakhir, namun dapat bersifat volatil.
Akhirnya, perkembangan kebijakan terakhir telah meningkatkan ketidakpastian peraturan. Hal itu menambah kepada sulitnya memperkirakan kebijakan menjelang pemilu, yang dapat berdampak kepada seluruh jenis investasi.
Dengan ketidakpastian prospek aliran investasi global ke ekonomi-ekonomi pasar berkembang seperti Indonesia, kabar baiknya adalah bahwa neraca eksternal Indonesia sedang melakukan penyesuaian. Defisit neraca berjalan menyusut secara signifikan pada kuartal terakhir tahun 2013 menjadi 4,0 miliar dolar AS, atau 2 persen dari PDB. Penurunan ini merupakan hal yang menggembirakan karena defisit pernah mencapai catatan tertinggi sebesar 10,0 miliar dolar AS pada kuartal kedua tahun 2013—yang merupakan 4,4 persen dari PDB. Pasar saham kembali naik, dengan mencatat peningkatan sebesar 9 persen dalam mata uang lokal, imbal hasil (yield) obligasi turun, dan Rupiah menguat sebesar 7 persen terhadap dolar AS, selama tahun berjalan, yang menutup sebagian penurunan yang signifikan pada tahun lalu. Aliran masuk modal portofolio dan perbankan juga meningkat pada kuartal penutup tahun 2013*.
Namun sejumlah hal perlu diwaspadai. Sejauh ini penyesuaian itu terutama berdasarkan pada kebijakan moneter yang lebih ketat dan depresiasi valuta selama paruh kedua tahun 2013, dan—seperti telah disinggung—melambatnya pertumbuhan investasi. Indonesia tetap rawan terhadap kemungkinan penurunan kembali kondisi pasar dunia.
Mengapa? Karena faktor-faktor penyesuaian yang menggembirakan mungkin hanya sementara. Permintaan dan harga komoditas dapat kembali merosot, sehingga menurunkan ekspor—sementara hal ini bukanlah base case kami, namun terdapat kekhawatiran akan prospek pertumbuhan China dan potensi pemulihan AS. Kedua, sebagian volume ekspor pada kuartal 4 tahun 2013 berasal dari meroketnya ekspor mineral, karena produsen mempercepat pengiriman sebelum larangan ekspor bulan Januari. Terdapat indikasi bahwa ekspor mineral kemudian mencatat penurunan yang tajam. Secara umum, defisit neraca berjalan akan menyempit pada tahun 2014, namun hanya secara moderat, ke 2,9 persen dari PDB dari 3,3 persen pada tahun 2013.
Selain itu, kebutuhan pembiayaan eksternal bruto di luar pembiayaan neraca berjalan tetaplah signifikan, dengan hutang luar negeri jangka pendek berjumlah 56,7 miliar dolar AS pada bulan Desember (Bank Indonesia).
Kemunduran yang baru pada kondisi pembiayaan luar negeri merupakan risiko paling jelas terhadap pertumbuhan, namun terdapat risiko-risiko lain. Perlambatan investasi dapat semakin menguat dengan kredit yang lebih ketat, impor yang lebih berbiaya tinggi, dan ketidakpastian peraturan, terutama bila investasi pembangunan—yang berjumlah lebih dari 80 persen belanja investasi dan sejauh ini masih bertahan kuat—mulai melemah. Serupa dengan itu, pertumbuhan konsumsi swasta juga sejauh ini tetap bertahan kuat, namun dapat melemah karena lebih ketatnya kredit, dan dorongan berkelanjutan dan negatif terhadap pendapatan dari perlemahan kondisi perdagangan melewati setidaknya pertengahan tahun 2014*. Perlambatan yang lebih tajam tentu saja tidak dapat dikesampingkan, walau dengan kemungkinan peningkatan belanja karena pemilu, pertumbuhan juga mungkin mencatat pertumbuhan yang mengejutkan.
Kalau begitu, apa saja pilihan kebijakan yang tersedia bagi Indonesia untuk meningkatkan prospek pertumbuhannya?
Mendorong keyakinan investor dalam dan luar negeri merupakan satu pilihan. Perkembangan kebijakan dan peraturan terbaru, termasuk larangan parsial pada ekspor mineral, telah meningkatkan ketidakpastian.
Kedua, perlambatan pertumbuhan penerimaan karena perlambatan pertumbuhan ekonomi dan impor, penurunan harga komoditas global serta peningkatan subsidi BBM, akan mendorong peningkatan tekanan fiskal. Memperluas basis penerimaan dan meningkatkan kualitas belanja, terutama dengan menurunkan pengeluaran subsidi energi, merupakan pilihan lain. Langkah-langkah ini juga akan meningkatkan ketersediaan ruang fiskal bagi pengeluaran yang lebih adil dan pro-pertumbuhan, termasuk lebih banyaknya investasi publik.
Ketiga, dibutuhkan kemajuan untuk mengatasi rintangan struktural lain demi mencapai pertumbuhan yang lebih kuat dan lebih inklusif, yaitu infrastruktur dan kesenjangan perbedaan keterampilan pekerja, dan halangan dari pelaksanaan tenaga kerja, tanah, modal dan pasar produk secara efisien.
Lingkungan kebijakan Indonesia secara alami dipengaruhi oleh konteks politis dari pemilu legislatif pada bulan April dan pemilu presiden pada bulan Juli. Namun, dengan adanya risiko-risiko ekonomi yang terus ada dan agenda pembangunan Indonesia yang ambisius, penetapan landasan bagi reformasi yang akan datang, meminimalkan ketidakpastian kebijakan, dan membuat kemajuan reformasi yang berkelanjutan pada sejumlah bidang, harus tetap menjadi prioritas. Jika demikian, mungkin aliran investasi dan kegiatan belanja di Indonesia dapat beralih dari tidak menentu, menjadi aliran investasi yang berkelanjutan…
*Tanggal ini telah dikoreksi setelah tulisan dipublikasikan.
Join the Conversation