Keterbatasan kredit ritel di Indonesia membutuhkan tindakan untuk menjaga ketersediaan barang selama COVID-19

This page in:
An Indonesian lady is preparing to sell household items in a traditional market. Photo: Jerry Kurniawan/World Bank An Indonesian lady is preparing to sell household items in a traditional market. Photo: Jerry Kurniawan/World Bank

Di Kota Makassar yang memiliki penduduk sebanyak 1,6 juta orang, Ibu Mirna adalah pemilik salah satu toko dari ribuan toko yang berada di Kota itu. Sejak 10 tahun terakhir, Ibu Mirna menjual berbagai kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti beras dan terigu, makanan kemasan dan produk-produk rumah tangga lainnya ke pelanggan di lingkungan tempat tinggalnya. Ia mengisi ulang stoknya dari grosir setiap tiga kali seminggu. Ibu Mirna telah mengenal pemilik grosir sejak ia memulai bisnisnya dan mendapatkan fasilitas kredit untuk barang-barang yang diperlukan. Ia juga bisa membayar setelah mendapatkan pemasukan dari penjualan barang-barang tersebut.

Kesepakatan ini berjalan baik sebelumnya, tetapi pandemik korona virus (COVID-19) telah mengurangi penjualannya hingga 70%. Menurut Ibu Mirna, “Orang-orang tidak belanja seperti biasanya karena mereka tidak memiliki uang yang cukup. Daya beli mereka menurun.” Akibatnya, ia tidak lagi memiliki cukup uang untuk membayar utangnya. “Saya berharap kondisi ini akan segera berakhir. Saya dengar situasi ini akan berakhir bulan Mei, tapi ada yang mengatakan bisa sampai akhir tahun ini,” ucapnya.

Sementara ini, penyuplainya bersedia memberikan Ibu Mirna kesempatan mengisi persediaan sembako, tetapi Ibu Mirna menghadapi tekanan yang semakin besar untuk membayar hutangnya secara keseluruhan sebelum dapat menambahkan kembali stok barangnya. Ibu Mirna bukan satu-satunya pelanggan yang membayar sebagian kreditnya, dan penyuplainya sendiri saat ini sedang mengalami arus kas yang kurang baik karena ia juga harus membayar hutangnya kepada distributor yang lebih besar di atasnya.

Situasi seperti ini tidak dapat berlangsung lebih lama bagi keduanya. Dan sayangnya, dinamika ini terjadi dalam skala lebih besar di Indonesia.

Barang-barang konsumen yang bergerak cepat (fast-moving consumer goods atau FCMG) yang dijual Ibu Mirna di tokonya merupakan bagian dari denyut nadi perekonomian Indonesia. Setiap hari, barang-barang pokok didistribusikan dari grosir melalui jaringan dua juta pengecer tradisional dan kemudian ke rumah-rumah di seluruh Indonesia.  Sementara itu, pembayaran terjadi secara dua arah.

Pembayaran dari pengecer tradisional ke pemasok langsung mereka bernilai setara dengan 25-30% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai perbandingan, pengiriman remitan yang masuk ke negara ini bernilai sekitar 5% dari PDB.

 

Rantai nilai FMCG di Indonesia

FMCG diagram

Seperti digambarkan dalam kisah Ibu Mirna, pembatasan pergerakan masyakarat ditambah dengan pembatasan bagi toko-toko pedagang eceran akibat pandemik COVID-19 mengganggu kemampuan rantai nilai FMCG untuk memasok para pedagang eceran tradisional. Sementara, sampai dengan 80% dari penjualan eceran makanan dan produk-produk rumah tangga di Indonesia dilakukan oleh para pedagang eceran tradisional tersebut.

Karena kredit perdagangan bisnis-ke-bisnis bekerja melalui rantai nilai FMCG, sistem ini berfungsi sebagai likuiditas sistem yang memungkinkan barang dikirim ke rumah tangga di seluruh Indonesia. Penurunan tajam dalam penjualan ritel menghambat pemilik toko untuk membayar kembali rekening kredit dagang mereka kepada grosir pemasok mereka. Hal ini mengakibatkan para pedagang grosir pemasok kesulitan membayar kredit mereka, dan terus berlanjut hingga ke rantai atas. Dan ini menciptakan krisis kredit miniatur di seluruh hierarki distribusi.

Keterbatasan kredit ini mencegah pasokan barang turun ke rantai nilai. Bahan pokok konsumen, yang merupakan sebagian besar barang yang diperdagangkan, paling terdampak, dan pembayaran tunai di muka mungkin segera diperlukan untuk pembelian para pemasok.

Permasalahan ini bisa menjadi besar jika kelangkaan barang membuat biaya naik dan akhirnya mengurangi arus kas pedagang eceran dan grosir. Jika ini terjadi, dampaknya bisa sangat luas. Pembeli dapat menemukan rak-rak yang semakin kosong, bermacam-macam produk yang menyusut dan kurangnya kebutuhan pokok yang penting untuk mereka.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah situasi ini menjadi semakin besar.

Pertama, badan pemerintah harus mengidentifikasi di mana gangguan kredit nilai ini terjadi.  Kredit perdagangan bisnis-ke-bisnis tidak termasuk dalam tingkat pengawasan yang sama dan persyaratan pelaporan dengan sektor jasa keuangan formal. Dengan demikian, penting untuk memulai dialog secara teratur dengan produsen dan distributor utama dalam rantai nilai FMCG untuk memahami dampak dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan perubahan dinamika pasar - khususnya , kinerja kredit perdagangan.

Kedua, ada kebutuhan untuk menyuntikkan dukungan modal kerja di tingkat distributor yang lebih besar. Kemampuan pedagang grosir untuk mempertahankan atau memperluas kredit perdagangan ke pedagang eceran tradisional merupakan bagian penting pada rantai nilai FMCG. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan dukungan tambahan modal kerja kepada distributor dalam bentuk kredit bergulir dari bank, yang akan memungkinkan persyaratan kredit perdagangan untuk pedagang besar tetap berlaku. Dengan cara ini, syok yang berasal dari tingkat akar rumput dan kemudian berkembang ke tingkat yang lebih tinggi yang disebabkan oleh COVID-19 dapat diatasi dengan penyuntikan kredit dari atas ke bawah.

Ketiga, pemerintah dapat mendukung penyebaran fasilitas modal kerja dengan cepat dan murah. Dalam keadaan normal, bank akan meluangkan waktu untuk melakukan asesmen dan menilai risiko. Marjin yang sudah tipis dalam rantai nilai FMCG berarti bahwa pinjaman dengan suku bunga tinggi hanya dapat bertahan jika biaya dibebankan kepada konsumen. Mengingat bahwa COVID-19 belum pernah terjadi sebelumnya, pemerintah harus mempertimbangkan untuk memperpanjang jaminan pinjaman jangka pendek hingga menengah ke bank untuk mendukung penyebaran cepat fasilitas modal kerja. Juga ada potensi untuk membentuk skema pembagian risiko jaminan antara pemerintah dan pemangku kepentingan terkait FMCG yang secara komersial mendapat manfaat dari dukungan yang diberikan terhadap rantai nilai tersebut.

Sekarang adalah saatnya untuk mengatasi masalah tersebut. Apa yang pada awalnya terlihat sebagai masalah yang terisolasi terkait kredit perdagangan dapat dengan cepat berubah menjadi kekurangan yang besar bagi pelanggan, khususnya di daerah pedesaan. Sangat penting untuk mengatasi situasi ini sekarang karena mekanisme rantai nilai FMCG yang telah disesuaikan dengan baik adalah elemen penting dalam mendukung pemulihan ekonomi pada akhirnya.

 


Authors

Joep Roest

Senior Financial Sector Specialist

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000