Umumnya di masyarakat Indonesia terdapat anggapan: “jamban yang baik adalah yang memiliki tangki septik besar dan tidak kedap sehingga, jadi tidak perlu disedot”. Oleh karenanya, sebagian besar tangki septik ditutup permanen dengan beton, dan seringkali berada di dalam rumah atau langsung di bawah jamban tanpa dilengkapi penutup yang mudah diakses.
Berdasarkan studi pada tahun 2013 oleh World Bank Group’s Water and Sanitation Program (WSP), hampir 83% dari sistem sanitasi setempat – jamban dan tangki septik ada di lokasi yang sama – telah mencemari tanah dan permukaan air dengan buangan tinja melalui tangki septik yang dibangun tidak sesuai standard.
Beberapa anggapan keliru lainnya juga ikut mempersulit terciptanya sistem sanitasi yang yang layak di kota-kota.
Filipina, dengan tantangan dan peluang yang hampir serupa dalam meningkatkan kualitas layanan sanitasi di perkotaan, merupakan tempat yang baik bagi Indonesia untuk belajar menerapkan program layanan lumpur terjadwal untuk menyedot dan membersihkan tangki septik, termasuk pentingnya mensinergikan program layanan lumpur dengan upaya peningkatan kualitas sistem sanitasi setempat. Karena adanya keengganan bahkan penolakan dari pengguna tangki septik yang dibangun tidak sesuai standar, banyak masyarakat pelanggan tidak menyadari manfaat mengosongkan tangki septik terjadwal sehingga kembali memilih menggunakan sistem panggilan.
Sistem panggilan, yang hanya melayani beberapa rumah, tidak mempertimbangkan fakta bahwa tiap rumah memiliki potensi mencemari lingkungan mereka. Selain itu, sistem panggilan juga terkait dengan sistem pembayaran dan pemantauan terhadap layanan yang diberikan oleh operator sedot tinja yang memungkinkan lumpur tinja dibuang dan tidak diolah sebagaimana mestinya.
Di Indonesia, layanan lumpur tinja terjadwal baru mulai diterapkan di beberapa kota- seperti Jakarta, Balikpapan, Tabanan, Solo, Bandung, dan Makassar. Agar tidak kembali menggunakan sistem panggilan, pemerintah perlu mensinergikan penerapan layanan lumpur tinja terjadwal dengan upaya peningkatan sistem sanitasi setempat.
Agar mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana upaya peningkatan kualitas sistem sanitasi setempat, WSP melakukan survei rumahtangga di 6 kota di Indonesia untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang, termasuk analisis terhadap pengaturan kelembagaan serta aspek keuangan dan sosial. Survei dilakukan pada daerah padat dan miskin di perkotaan, dimana sarana sanitasi setempat masih digunakan hingga beberapa tahun ke depan.
Kajian ini mengidentifikasi bahwa pengelolaan sanitasi tersebar di berbagai kementerian atau dinas yang berbeda, sehingga berdampak pada kesenjangan dan ketidakjelasan tanggung jawab. Misalnya, bagian perencanaan menetapkan agar keberadaan tangki septik harus menjadi bagian dari desain konstruksi bangunan, namun demikian seringkali tidak dilengkapi dengan arahan yang jelas, ketersediaan peraturan ataupun pengawasan yang intens. Fokus pendanaan dari pemerintah daerah seringkali terbatas pada infrastruktur utama kota, termasuk pembangunan instalasi pengolahan lumpur tinja. Hal ini utamanya disebabkan tidak adanya dana yang cukup untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat, dan terdapatnya pandangan umum bahwa peraturan yang berlaku tidak mengizinkan pemerintah untuk membangun sarana dengan dana publik pada area privat.
Namun demikian, survei menunjukkan adanya peluang yang timbul di tingkat masyarakat. Walaupun pemahaman mereka mengenai tangki septik yang benar masih kurang memadai, masyarakat memiliki perhatian yang baik terhadap kualitas lingkungan. Beberapa rumahtangga mengerti risiko dari kondisi sanitasi saat ini, terutama potensi tercemarnya air tanah dan saluran drainase di daerah padat penduduk. Lebih jauh, masyarakat juga bersedia membayar untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat, walaupun mungkin tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan.
Untuk itu, keseluruhan rangkaian layanan sanitasi mulai dari rumah hingga instalasi pengolahan perlu diatur, dijalankan dan dimonitor pada tingkat nasional dan daerah. Kejelasan tanggung jawab pemerintah sangat diperlukan dan harus dijalankan secara konsisten. Pemerintah pusat dapat memanfaatkan kesiapan daerah sebagai kriteria untuk mendapatkan dukungan investasi bagi pemerintah daerah.
Adanya program insentif bagi rumahtangga untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat dapat membantu, dan -pada saat yang bersamaan- mampu mendorong pemerintah daerah dalam mempercepat upaya penerapan layanan lumpur tinja terjadwal. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai tangki septik yang benar perlu dilakukan melalui upaya kampanye dan promosi yang tepat sasaran dan waktu. Pemimpin lokal perlu dilibatkan untuk membantu menyakinkan mereka mengenai manfaat upaya ini.
Apakah Anda punya pengalaman dalam meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat yang tersinergi dengan program layanan lumpur tinja terjadwal? Silakan bagikan pengalaman atau opini Anda di bagian komentar, kami sangat tertarik untuk mengetahuinya.
Berdasarkan studi pada tahun 2013 oleh World Bank Group’s Water and Sanitation Program (WSP), hampir 83% dari sistem sanitasi setempat – jamban dan tangki septik ada di lokasi yang sama – telah mencemari tanah dan permukaan air dengan buangan tinja melalui tangki septik yang dibangun tidak sesuai standard.
Beberapa anggapan keliru lainnya juga ikut mempersulit terciptanya sistem sanitasi yang yang layak di kota-kota.
Filipina, dengan tantangan dan peluang yang hampir serupa dalam meningkatkan kualitas layanan sanitasi di perkotaan, merupakan tempat yang baik bagi Indonesia untuk belajar menerapkan program layanan lumpur terjadwal untuk menyedot dan membersihkan tangki septik, termasuk pentingnya mensinergikan program layanan lumpur dengan upaya peningkatan kualitas sistem sanitasi setempat. Karena adanya keengganan bahkan penolakan dari pengguna tangki septik yang dibangun tidak sesuai standar, banyak masyarakat pelanggan tidak menyadari manfaat mengosongkan tangki septik terjadwal sehingga kembali memilih menggunakan sistem panggilan.
Sistem panggilan, yang hanya melayani beberapa rumah, tidak mempertimbangkan fakta bahwa tiap rumah memiliki potensi mencemari lingkungan mereka. Selain itu, sistem panggilan juga terkait dengan sistem pembayaran dan pemantauan terhadap layanan yang diberikan oleh operator sedot tinja yang memungkinkan lumpur tinja dibuang dan tidak diolah sebagaimana mestinya.
Di Indonesia, layanan lumpur tinja terjadwal baru mulai diterapkan di beberapa kota- seperti Jakarta, Balikpapan, Tabanan, Solo, Bandung, dan Makassar. Agar tidak kembali menggunakan sistem panggilan, pemerintah perlu mensinergikan penerapan layanan lumpur tinja terjadwal dengan upaya peningkatan sistem sanitasi setempat.
Agar mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana upaya peningkatan kualitas sistem sanitasi setempat, WSP melakukan survei rumahtangga di 6 kota di Indonesia untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang, termasuk analisis terhadap pengaturan kelembagaan serta aspek keuangan dan sosial. Survei dilakukan pada daerah padat dan miskin di perkotaan, dimana sarana sanitasi setempat masih digunakan hingga beberapa tahun ke depan.
Kajian ini mengidentifikasi bahwa pengelolaan sanitasi tersebar di berbagai kementerian atau dinas yang berbeda, sehingga berdampak pada kesenjangan dan ketidakjelasan tanggung jawab. Misalnya, bagian perencanaan menetapkan agar keberadaan tangki septik harus menjadi bagian dari desain konstruksi bangunan, namun demikian seringkali tidak dilengkapi dengan arahan yang jelas, ketersediaan peraturan ataupun pengawasan yang intens. Fokus pendanaan dari pemerintah daerah seringkali terbatas pada infrastruktur utama kota, termasuk pembangunan instalasi pengolahan lumpur tinja. Hal ini utamanya disebabkan tidak adanya dana yang cukup untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat, dan terdapatnya pandangan umum bahwa peraturan yang berlaku tidak mengizinkan pemerintah untuk membangun sarana dengan dana publik pada area privat.
Namun demikian, survei menunjukkan adanya peluang yang timbul di tingkat masyarakat. Walaupun pemahaman mereka mengenai tangki septik yang benar masih kurang memadai, masyarakat memiliki perhatian yang baik terhadap kualitas lingkungan. Beberapa rumahtangga mengerti risiko dari kondisi sanitasi saat ini, terutama potensi tercemarnya air tanah dan saluran drainase di daerah padat penduduk. Lebih jauh, masyarakat juga bersedia membayar untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat, walaupun mungkin tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan.
Untuk itu, keseluruhan rangkaian layanan sanitasi mulai dari rumah hingga instalasi pengolahan perlu diatur, dijalankan dan dimonitor pada tingkat nasional dan daerah. Kejelasan tanggung jawab pemerintah sangat diperlukan dan harus dijalankan secara konsisten. Pemerintah pusat dapat memanfaatkan kesiapan daerah sebagai kriteria untuk mendapatkan dukungan investasi bagi pemerintah daerah.
Adanya program insentif bagi rumahtangga untuk meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat dapat membantu, dan -pada saat yang bersamaan- mampu mendorong pemerintah daerah dalam mempercepat upaya penerapan layanan lumpur tinja terjadwal. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai tangki septik yang benar perlu dilakukan melalui upaya kampanye dan promosi yang tepat sasaran dan waktu. Pemimpin lokal perlu dilibatkan untuk membantu menyakinkan mereka mengenai manfaat upaya ini.
Apakah Anda punya pengalaman dalam meningkatkan kualitas sistem sanitasi setempat yang tersinergi dengan program layanan lumpur tinja terjadwal? Silakan bagikan pengalaman atau opini Anda di bagian komentar, kami sangat tertarik untuk mengetahuinya.
Join the Conversation