Hutan-hutan primer telah lama hilang dari lingkungan desa Teluk Bakung di pinggiran Pontianak, ibukota Kalimantan Barat di Indonesia. Hal ini tampak ketika saya tiba di wilayah tersebut pada akhir November 2016, sebagai bagian dari kunjungan lapangan. Kami melihat bagaimana sebagian besar penduduk desa telah meninggalkan pertanian yang berat di lahan gambut untuk bekerja pada perkebunan-perkebunan besar kelapa sawit dan ladang kelapa sawit mereka sendiri. Yang lain memilih berinvestasi dalam produksi sarang burung yang menguntungkan. Namun mereka melakukannya di tengah-tengah tata kelola penggunaan lahan yang membingungkan: demarkasi batas wilayah kawasan hutan dan wilayah administratif tidak lengkap, sementara kelompok kepentingan masyarakat dan pihak berwenang memperdebatkan sejarah alokasi areal konsesi perkebunan. Kumpulan data publik menunjukkan keragaman penggunaan lahan dan hutan di wilayah tersebut, termasuk cagar alamnya. Namun dalam kenyataannya, hampir seluruh lahan yang ada semakin dikhususkan untuk produksi kelapa sawit.
Pendekatan “Satu Peta” untuk pengelolaan lahan
Situasi yang kami temukan di Kalimantan Barat tersebut menggambarkan urgensi masalah ini: penggunaan lahan dan sumber daya alam secara tak berkelanjutan menyebabkan degradasi lingkungan dan berkontribusi pada kemiskinan pedesaan yang kronis. Penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan tentunya sangat kompleks, dan hamper tidak mungkin terwujud tanpa kejelasan tentang penggunaan lahan, hak akses, dan lisensi. Untuk mengatasi masalah ini, Bank Dunia mendukung pemerintah Indonesia melalui Program Bentang Alam (Landscapes) Berkelanjutan, yang bertujuan meningkatkan pengelolaan dataran rendah (termasuk restorasi lahan gambut) dan membangun kapasitas penanganan kebakaran hutan, mengidentifikasi cara-cara guna mengurangi persaingan atas lahan dan wilayah, serta meningkatkan optimasi penggunaan lahan dan sumber daya.
Komponen mendasar dari upaya ini adalah menyusun peta dan informasi lahan yang konsisten, akurat, serta terbuka bagi publik melalui Kebijakan Satu Peta. Dasar pemikirannya adalah bagaimana mengkonsolidasi data geospasial atas penggunaan lahan menjadi suatu peta dasar tunggal, yang akan membantu meningkatkan tata kelola sumber daya alam Indonesia. Upaya ini membutuhkan reformasi-reformasi dalam kerangka regulasi, standar, format, serta kebijakan berbagi data pada tingkat nasional, provinsi, dan masyarakat lokal. Membangun kapasitas lembaga-lembaga pelaksana juga penting.
Tantangan dan peluang bagi pengelolaan lahan berkelanjutan
- Di Indonesia, lahan dikelola menurut sistem ganda. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertanggungjawab atas kawasan hutan, sementara Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengelola lahan non-hutan. Di saat kurang dari 15% batas-batas kawasan hutan telah tuntas didemarkasi, para pengguna lahan maupun penegak hukum sama-sama bersusah-payah berurusan dengan lisensi dan klaim atas tanah yang tumpah tindih.
- Indonesia termasuk di antara 10 penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dunia, dua pertiganya berasal dari konversi penggunaan lahan. Pembakaran, yang merupakan cara tradisional untuk membuka lahan bagi pertanian, semakin digunakan untuk secara illegal mengkonversi lahan hutan untuk keperluan pertanian, dengan dampak biaya tinggi bagi ekonomi – studi Bank Dunia memperkirakan kebakaran hutan tahun 2015 menciptakan kerugian senilai sekitar 2% dari PDB tahunan Indonesia, atau hampir dua kali lipat biaya rekonstruksi pasca tsunami Aceh. Kebakaran hutan dan lahan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca harian yang nilainya melebihi total emisi Uni Eropa.
- Masalah ini semakin rumit dalam hal hak tanah masyarakat adat. Mereka sebagian besar tinggal dalam kawasan hutan, dan mengadopsi berbagai jenis kepemilikan dan pengelolaan lahan secara komunal dan sesuai adat. Meskipun mungkin secara hukum, warga miskin yang tinggal dalam kawasan hutan adalah masyarakat adat yang klaimnya atas lahan sebagian besar belum diakui. Dengan tingkat kemiskinan 20% (dibandingkan dengan 11% rata-rata nasional), masyarakat yang tinggal di kawasan hutan tetap termasuk masyarakat termiskin di Indonesia.
- Meskipun Kebijakan Satu Peta secara umum didukung oleh lembaga-lembaga pemerintah dan mitra-mitra pembangunan, tingkat kompilasi Satu Peta masih tetap terbatas. Hal ini disebabkan ketersediaan data yang membingungkan dan tumpang tindih. Salah satu tantangan adalah besarnya skala implementasi yang dibutuhkan (Indonesia memiliki sekitar 75.000 desa). Namun salah satu kunci utama keberhasilan adalah verifikasi lapangan. Metodologi Kebijakan Satu Peta yang diterapkan pemerintah saat ini mentargetkan pembuatan peta-peta berskala 1:50.000 berbasis lebih dari 80 kumpulan data tematik, dengan verifikasi lapangan yang terbatas atau tidak sama sekali. Berdasarkan pengalaman global, pendekatan seperti itu terbukti akan penuh tantangan. Untuk memastikan akurasi dan legitimasi data, Bank Dunia mendukung upaya pemerintah mengembangkan kerja lapangan partisipatif yang baru dan proses verifikasi berbasis komunitas untuk memproduksi serangkaian Peta Terpadu berskala lokal, didasarkan pada situasi aktual di lapangan.
Dalam jangka panjang, Satu Peta akan menjadi alat penting tak hanya untuk pemerintah, namun juga bagi masyarakat Indonesia dalam kapasitas sebagai pengguna lahan. Satu Peta akan memungkinkan penduduk Indonesia meningkatkan tata kelola atas penggunaan lahan dan sumber daya alam, sehingga pada akhirnya membantu mereka mengurangi kemiskinan dan mencapai pembangunan keberlanjutan.
Join the Conversation