Ketika Bank Dunia melakukan kajian pertama terkait pengeluaran bantuan sosial di Indonesia di tahun 2012, diagnosisnya sudah jelas. Meskipun telah banyak sumber daya yang dihabiskan untuk "kesejahteraan", sebagian besar dari upaya ini dilakukan melalui subsidi yang mahal (bahan bakar, listrik, beras) yang belum tentu bermanfaat untuk segmen masyarakat yang paling rentan. Subsidi umum mewakili 20 persen dari total anggaran nasional, namun program bantuan sosial yang ditargetkan untuk rumah tangga telah berjalan, meningkat dari 0,3 persen PDB menjadi 0,5 persen antara tahun 2004 dan 2010. Namun, dengan koefisien Gini yang meningkat sekitar 6 poin persentase pada periode 2005-2012, masih ada ketidakpuasan dalam pencapaian selama ini.
Dengan adanya lebih dari 27 juta orang yang termasuk golongan miskin dan sebagai salah satu negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang memiliki tingkat ketimpangan pendapatan tertinggi, maka perluasan cakupan dan penguatan sistem bantuan sosial adalah suatu keharusan. Untungnya, situasi di sektor bantuan sosial telah berubah secara dramatis.
Sebuah Laporan Bank Dunia terbaru berjudul “Towards a Comprehensive, Integrated, and Effective Social Assistance System in Indonesia”, mengkaji kemajuan dan temuan terhadap berbagai capaian terkini. Hal ini termasuk beberapa pengurangan subsidi energi, yang porsinya dalam anggaran telah dikurangi hingga setengah. Sisanya dialokasikan kembali ke program bantuan sosial yang ditargetkan, yang mencapai 0,7 persen PDB pada tahun 2016. Capaian lainnya meliputi standarisasi prosedur untuk penargetan dan identifikasi calon penerima manfaat, dengan menggunakan daftar nasional yang berisikan 26 juta rumah tangga miskin dan rentan, kemudian diberlakukannya penyatuan Basis Data (Unified Database /UDB) untuk diterapkan kepada semua lembaga pelaksana. Yang terbaru, Pemerintah telah merilis Strategi Keuangan Inklusif Nasional, dimana Pemerintah menghimbau tercapainya sistem yang lebih inklusif melalui perubahan sistem pembayaran bantuan sosial dari berbasis tunai menjadi non-tunai melalui satu kartu (Kartu Keluarga Sejahtera).
Dari sisi program, komponen pembebasan biaya Asuransi Kesehatan Nasional telah menjangkau 92 juta orang, meningkat dari 76 juta di tahun 2012. Jumlah penerima transfer tunai untuk siswa miskin dan rentan meningkat sekitar 10 juta siswa pada periode yang sama. Jumlah penerima program bantuan tunai bersyarat Program Keluarga Harapan (PKH) juga telah meningkat, dari sebelumnya dibawah 2 juta rumah tangga tahun 2012, menjadi 6 juta pada akhir tahun 2016, dan diperkirakan mencapai 10 juta pada akhir tahun 2017. Selain itu, penerima program subsidi beras untuk masyarakat miskin telah berkurang ke angka stabil 15,5 juta rumah tangga.Untuk meningkatkan efektifitas alokasi dana, upaya ini dialihkan ke program bantuan pangan non tunai.
Namun demikian, walaupun telah mencapai kemajuan signifikan, rangkaian program bantuan sosial saat ini belum menjawab semua tantangan yang ada. Hal ini terlihat dari lambatnya laju penurunan kemiskinan dan ketimpangan semenjak 2010. Misalnya masih belum memadainya cakupan bantuan sosial terhadap risiko yang dihadapi mereka yang berusia lanjut atau yang masih sangat muda yang tinggal di rumah tangga miskin dan rentan. Selanjutnya, integrasi sistem tetap menjadi tantangan: Data 2014 menunjukkan bahwa hanya seperlima dari 10 persen rumah tangga termiskin dan berhak di Indonesia yang menerima empat program bantuan sosial utama.
Jika manfaat ini diberikan kepada masyarakat miskin secara terpadu, pengurangan sebesar 2 sampai 4 poin persentase dalam jumlah orang miskin per kepala dapat tercapai dalam waktu singkat. Suatu cara yang dapat dilakukan agar proses integrasi dapat terjadi dengan baik adalah dengan memperbarui basis data penargetan secara dinamis dari basis data penargetan menjadi daftar penerima manfaat berbasis program, atau sebaliknya . Hal ini didukung oleh program satu pintu Pemerintah dan mendorong penggunaannya di semua program bantuan sosial utama.
Perbaikan terhadap program yang sedang berjalan juga akan menghasilkan sistem yang lebih efektif. Pada saat suatu rumah tangga harus melakukan pembelian atau melakukan investasi untuk hal yang diperlukan, program bantuan sosial harus dapat memberikan manfaat di saat yang tepat. Hal ini bisa dicapai dengan perencanaan program bantuan sosial yang lebih baik. Mekanisme pemantauan dan evaluasi tingkat program juga perlu mengetahui secara efektif tingkat perbedaan antara rancangan program dan pelaksanaan aktualnya, agar tercapai hasil yang lebih baik.
Jadi, meskipun Indonesia telah mengambil lompatan besar untuk mengintegrasikan bagian-bagian sistem jaminan sosial, tetap masih ada ruang untuk perbaikan dan inovasi lebih lanjut. Agenda saat ini terhadap inklusi keuangan misalnya, telah membuat dorongan penting terhadap integrasi sistem pembayaran. Meskipun pergeseran besar seperti ini memerlukan waktu dan uji coba untuk sepenuhnya berkembang, kami yakin bahwa Indonesia akan mampu untuk melakukannya dengan baik dan cepat.
Link terkait: Reformasi Bantuan Sosial Dapat Lebih Cepat Membantu Mengurangi Kemiskinan: Laporan Bank Dunia
Join the Conversation