Sekarang, saat semua sudah tenang setelah hasil hasil PISA keluar, mari kita coba pikirkan faktor-faktor penyebab di balik performa buruk Indonesia. Bagi yang belum tahu, Indonesia berada di posisi lebih rendah dibanding semua negara yang berpartisipasi, kecuali Peru dalam hal matematika dan sains, serta negara kelima dari bawah dalam hal membaca. Hal yang lebih mengkhawatirkan mungkin adalah rendahnya tingkat pembelajaran yang dilaporkan untuk anak-anak Indonesia usia 15 tahun. Dalam hal matematika, tiga perempat dari siswa berada dalam atau di bawah acuan terendah – tingkat yang diasosiasikan dengan keterbatasan kemampuan serta terbatasnya kecakapan berpikir lebih tinggi.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah sedikitnya waktu belajar di sekolah bagi murid-murid Indonesia. Di kelas 1 dan 2, anak Indonesia hanya menghabiskan waktu tiga jam sehari di sekolah – 555 jam setahun – dibandingkan rata-rata 774 jam belajar negara-negara OECD. Jumlah tersebut juga rendah dibanding beberapa negara lain di Asia Tenggara; di Vietnam murid-murid kelas 1 dan 2 pada umumnya belajar sekitar 787 jam. Terlebih lagi, pendeknya jam belajar sekolah ini tidak diimbangi dengan tingginya waktu bimbingan belajar setelah sekolah. Dalam laporan PISA yang terbaru, sekitar setengah dari murid Indonesia mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah, sedikit lebih tinggi daripada rata-rata negara OECD, tetapi rendah untuk negara-negara Asia Timur.
Source: OECD Education at a Glance and Unesco World Education Data 7th Ed. Indonesia data based on staff calculations.
Hasilnya, saat siswa-siswa Indonesia mengikuti PISA pada usia 15 tahun, mereka kehilangan dua tahun di sekolah dibanding murid-murid negara OECD. Hal tersebut mungkin menjadi alasan kenapa dalam laporan PISA siswa-siswa Indonesia adalah siswa yang paling bahagia di dunia, tetapi mungkin hal tersebut juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pembelajaran mereka. Beberapa kajian menyatakan pentingnya waktu pengajaran dalam menentukan seberapa banyak anak-anak belajar selama satu tahun akademik (lihat di sini dan di sini). Di Indonesia, sebuah kajian terbaru menunjukkan bahwa tahun ajaran yang lebih lama mengurangi pengulangan kelas, meningkatkan pencapaian pendidikan dan meningkatkan kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
Beberapa estimasi kasar menunjukkan bahwa menambah jam belajar berpotensi memperkecil jurang pembelajaran antara Indonesia dengan negara-negara OECD secara signifikan. Kami menggunakan estimasi PISA tentang keuntungan belajar dari satu tahun tambahan bersekolah untuk Indonesia (mengendalikan variabel jenis kelamin dan status sosial-ekonomi) untuk menghitung keuntungan potensialnya. Penambahan jam belajar sehingga mendekati rata-rata jam pelajaran OECD dapat meningkatkan pembelajaran sekitar sepertiga standar deviasi – yang setara dengan menggeser posisi siswa Indonesia naik satu tingkat pada acuan kemampuan internasional PISA. Sementara perkiraan kasar ini secara relatif sudah besar, peningkatan tersebut akan lebih besar lagi apabila kualitas sekolah lebih baik lagi. Sebagai contoh, keuntungan tersebut akan berlipat ganda besarnya apabila kualitas pendidikan mirip dengan negara-negara OECD. Bahkan dengan kualitas yang sekarang ada, peningkatan pembelajaran secara signifikan dapat mengurangi perkiraan waktu100-300 tahun agar Indonesia dapat mencapai tingkat keberhasilan pembelajaran OECD seperti yang diutarakan Lant Pritchett, seorang professor Harvard.
Tujuan penghitungan semacam ini bukan untuk mengidentifikasi ‘satu ramuan ajaib’ yang dapat dengan mudah menyelesaikan masalah kualitas pendidikan yang rendah. Menambah jam belajar saja mungkin bukan jawabannya; Thailand, memiliki jam belajar di atas rata-rata, tapi hasil PISA mereka berada dalam peringkat relatif buruk. Hasil yang paling maksimal dari penambahan jam belajar di sekolah akan sangat bergantung pada perbaikan kualitas pendidikan dengan, misalnya, menambah alokasi waktu untuk tugas selama pelajaran berlangsung, meningkatkan efektivitas guru dan menyediakan dana yang cukup bagi sekolah.
Kabar baiknya adalah pemerintah Indonesia sudah mulai menanggapi dan melakukan tindakan terkait jam belajar di sekolah. Dengan pelaksanaan kurikulum yang baru, anak-anak Indonesia akan menghabiskan waktu tambahan sebanyak 120 jam di sekolah per tahun. Maka siswa akan belajar rata-rata selama 7 ribu jam untuk menyelesaikan siklus pendidikan dasar dibandingkan dengan rata-rata 7,5 ribu jam anak-anak negara OECD. Dan penambahan jam pelajaran tersebut akan ditujukan untuk matematika dan membaca – bidang dimana Indonesia tertinggal dari negara-negara lainnya.
Dampak dari penambahan jam belajar ini bagaimanapun juga akan sangat bergantung pada kualitas kurikulum baru dan seberapa baik kurikulum tersebut dilaksanakan. Hanya waktu yang akan membuktikan apabila perubahan-perubahan terhadap kurikulum akan mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Namun beberapa tanda awal tampak mengkhawatirkan. Meskipun kurikulum baru memerlukan perubahan mendasar dalam cara mengajar, para guru mengeluh mengenai tidak cukupnya pelatihan yang mereka terima. Kesempatan untuk meningkatkan mutu pembelajaran melalui penambahan jam belajar akan hilang kecuali apabila kurikulum tersebut bisa efektif memberikan kemampuan keterampilan yang dibutuhkan oleh murid, dan guru mendapat dukungan memadai untuk menyampaikannya. Jutaan anak Indonesia akan berharap bahwa penambahan waktu di ruang kelas berarti bisa belajar semakin banyak, dan bukan berkurangnya waktu untuk bermain.
Join the Conversation