Di pedesaan Indonesia, beras menyumbang hampir seperempat dari total pengeluaran penduduk miskin. Namun, harga makanan sering bergejolak seperti rollercoaster karena data produksi pangan belum bisa sepenuhnya diandalkan. Selama berpuluh-puluh tahun, data produksi beras bergantung pada ukuran subjektif dari perkiraan mata (tidak bergantung pada alat selain mata sendiri untuk mengukur jarak), yang menyebabkan lemahnya bukti sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan.
Merasakan hal ini, pada tahun 2016, Presiden Indonesia Joko Widodo merespons dengan menginstruksikan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan merilis data produksi pangan. Sejak itu, BPS, bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan lembaga lainnya, telah memperbaiki perhitungan dalam berbagai tahap pengumpulan data produksi beras. Empat parameter utama dan metodologi direvisi: total area sawah (direvisi dari 7,75 juta ha pada tahun 2013 menjadi 7,11 juta ha pada tahun 2018); metodologi pengambilan data (mengadopsi metodologi Kerangka Pengambilan Sampel Area untuk mengumpulkan data fase pertumbuhan vegetasi padi di area sampel yang dipilih menggunakan aplikasi berbasis Android); produktivitas lahan (yang sekarang disampel dari area Kerangka Pengambilan Sampel Area saja); dan terakhir, dua tingkat konversi yaitu tingkat konversi dari Gabah Kering Panen ke Gabah Kering Giling, dan dari Gabah Kering Giling ke beras.
Dua tahun kemudian, pada Oktober 2018, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan hasil data produksi beras yang baru, yang jumlahnya 30 persen lebih rendah dari data produksi beras sebelumnya. Data terbaru ini membuktikan kebenaran para pembuat kebijakan yang mencoba menstabilkan harga beras melalui impor. Data baru ini menunjukkan bahwa hanya ada 2,85 juta ton surplus beras pada tahun 2018, dibandingkan dengan surplus beras yang diklaim sebelumnya sebesar 10 juta ton setiap tahun. Dari 2,85 juta ton surplus beras, 44 persen di antaranya diperkirakan dipegang oleh rumah tangga produsen, 18 persen oleh pedagang, dll, meninggalkan jumlah beras yang tidak mencukupi untuk cadangan penyangga nasional, terutama pada bulan-bulan non-panen.
Apa arti dari perbaikan data produksi beras ini terhadap Indonesia? Pertama, pengukuran berbasis teknologi dapat meningkatkan transparansi, akurasi, dan pertanggungjawaban data produksi beras yang selanjutnya akan membantu pembuat kebijakan dan sektor swasta dapat membuat keputusan terkait manajemen stok beras untuk meminimalkan gejolak dan guncangan harga beras. Fakta bahwa data dikumpulkan setiap bulan dengan akurasi sampai ke titik koordinat geospatial dengan menggunakan teknologi GPS memungkinkan para pembuat kebijakan dan sektor swasta untuk mengetahui secara tepat kapan dan di mana padi dipanen dan fase pertumbuhan vegetasi padi di setiap lokasi. Data statistik-geospasial seperti itu juga memungkinkan pengelolaan distribusi beras antar daerah, perkiraan stok domestik dan kebutuhan impor, serta mitigasi awal serangan hama, banjir, dan kekeringan. Dalam jangka menengah dan panjang, data yang lebih akurat dapat meningkatkan efisiensi anggaran dan kesejahteraan petani serta konsumen melalui manajemen produksi yang lebih baik dan harga produsen dan konsumen yang lebih stabil.
Apa yang bisa dipelajari oleh negara lain dari pengalaman Indonesia dalam memperbaiki data produksi pangan? Reformasi ini tidak akan mungkin terjadi tanpa komitmen politik di tingkat tertinggi yang membuka jalan untuk kolaborasi lintas-badan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Kemudian, reformasi ini juga dilakukan dengan persetujuan implisit terkait “amnesti data” sehingga tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas data yang salah di masa lalu. Idenya adalah untuk melihat ke depan dan tidak melihat ke belakang, dan ini sangat penting untuk reformasi besar, yang jika tidak adanya “amnesti data” ini, berpotensi mendapat serangan balik yang besar.
Meskipun reformasi ini monumental, ini hanyalah permulaan. Pemerintah Indonesia harus menerapkan metodologi baru ini pada komoditas pangan lainnya dan terus memperbaiki cara pengumpulan data produksi pangan, terutama dengan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap teknologi canggih seperti big data, machine learning, Artificial Intelligence, dan Internet of Things. Yang paling penting, data produksi beras yang telah direvisi ini harus digunakan dengan segala cara untuk memperbaiki keputusan pembuatan kebijakan, misalnya, terkait efisiensi anggaran, forecasting, dan manajemen stok.
Join the Conversation