Apa yang dapat dipelajari Indonesia dari transformasi ekonomi digital di China?

This page in:
Foto: Shutterstock.com Foto: Shutterstock.com

Chen (24) dan istrinya, Ding (24), adalah pemilik toko di Taobao.com, salah satu platform belanja online terbesar di China. Mereka memulai toko pakaian trendi yang dirancang sendiri bernama BlueLand di platform Taobao tepat setelah mereka lulus dari perguruan tinggi pada tahun 2016. Studio mereka terletak di sebuah gedung perkantoran di distrik Xiaoshan, Hangzhou. Promosi produk mereka terkadang disiarkan secara langsung oleh para influencer terkenal di China, terutama pada acara khusus seperti festival belanja Double 11 (11 November) atau Double 12 (12 Desember). Pesanan yang diterima secara online langsung diarahkan ke produsen lokal.

Model “Pelanggan-ke-Produsen” (atau C2M) seperti ini mengurangi biaya-biaya, mulai dari inventarisasi, logistik, hingga penjualan dan distribusi, dan oleh karenanya menggantikan sistem tradisional rantai pasokan produk. Berkat produsen yang melimpah dan platform logistik digital China, pelanggan sudah dapat menerima barang yang mereka beli umumnya dalam waktu sepuluh hari setelah mereka memesannya secara online.

Chen dan Ding termasuk di antara lebih dari delapan juta pemilik toko pada platform Taobao saat ini, di mana setengahnya adalah wanita. Mereka adalah para penerima manfaat sekaligus kontributor terhadap transformasi ekonomi digital yang terjadi secara kolosal di China. Dalam dua dekade terakhir ini, China tidak hanya mewakili salah satu kisah pengurangan kemiskinan paling luar biasa di dunia, tetapi juga mengalami transformasi ekonomi digital yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 1999, China hanya memiliki 8,8 juta pengguna internet dengan pendapatan per kapita US$873 (nominal saat ini). Kini, China memiliki lebih dari satu miliar pengguna internet dengan pendapatan per kapita lebih dari  US$10.000 (nominal saat ini).

China mengalami dua lompatan besar dalam konteks ekonomi digital. Pertama, China mengadopsi e-commerce untuk masyarakat secara keseluruhan. Pada tahun 1999, China mewakili kurang dari satu persen pasar e-commerce secara global. Namun, kini China merepresentasikan 52 persen dari pasar e-commerce dunia. China juga merupakan negara pertama di dunia yang memiliki kontribusi transaksi dan volume e-commerce melebihi kontribusi transaksi dan volume pasar ritel tradisional . Sekitar 52,1 persen pasar ritel di China dilakukan melalui e-commerce (2021), dibandingkan dengan 15 persen di AS (2021), dan 20 persen di Indonesia (2020).

Kedua, solusi fintech di China memang dirancang untuk inklusi keuangan. Dua dekade lalu, tidak ada orang yang dapat membayangkan “masyarakat tanpa uang tunai.” China tidak sempat mengalami generasi kartu kredit dan langsung beralih dari transaksi uang tunai menjadi masyarakat tanpa uang tunai. Saat ini, 90 persen orang di perkotaan dan 82 persen orang di pedesaan China menggunakan pembayaran digital, dan kesenjangan ini semakin menyempit dengan cepat. Dalam hal pembiayaan pinjaman untuk usaha kecil dan mikro, menurut People's Bank of China (Bank Sentral China) lebih dari US$74 miliar pinjaman mikro diberikan pada tahun 2020 menggunakan berbagai solusi fintech.

JD.com staff receiving incoming goods, sorting products, and preparing shipments at the Northeast China based Gu'an warehouse and distribution facility
Staf JD.com menerima barang masuk, menyortir produk, dan menyiapkan pengiriman di fasilitas gudang distribusi Gu'an yang berbasis di China Timur Laut. Foto: Shutterstock.com

Jadi, apa yang secara fundamental diperlukan agar transformasi ekonomi digital yang berskala seperti di China dapat direplikasi di Indonesia dan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya? Kami percaya ada tiga hal yang dapat dipertimbangkan: 

Pertama, kebijakan pemerintah yang praktis dan mendasar. Bahkan sebagai salah satu negara termiskin di dunia pada era 1980-an, penduduk China relatif sehat dan berpendidikan. China membangun 2,6 juta mil jalan untuk menjangkau daerah terpencil, dengan setengahnya dibangun dalam 10 tahun terakhir. Sekarang, hampir semua desa di China memiliki akses ke jaringan serat optik atau 4G. Berkat satu set kode pajak, norma bisnis, dan peraturan lainnya di seluruh provinsi dan negara bagian, maka tenaga kerja, barang, dan informasi bergerak melintasi batas provinsi dengan gesekan minimal. Ini semua penting untuk mendukung sistem e-commerce.

Selama beberapa tahun terakhir, China telah melakukan banyak hal untuk mengelola risiko di sektor keuangan dalam upaya stabilisasi pasar. Salah satu contohnya adalah menyediakan kerangka kerja perlindungan konsumen, sekaligus memastikan bahwa pasar tetap kompetitif. Lingkungan bisnis yang menumbuhkan inovasi seperti melalui pembuatan sandbox, memungkinkan perusahaan bereksperimen seraya mengelola risiko. Ini merupakan hal sangat penting dalam transformasi digital di China. 

Kedua, hubungan antara pemerintah dengan swasta yang erat. Pengusaha dan lembaga pemerintah memainkan perannya masing-masing dalam berkontribusi terhadap ekonomi digital. Selama dua dekade terakhir, arah kebijakan yang jelas dari pemerintah China mengisyaratkan industri mana yang akan menjadi prioritas pembangunan nasional. Berbagai rencana lima tahunan menetapkan arah industri secara keseluruhan atau bidang yang akan diinvestasikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memacu sektor-sektor yang luas seperti fintech, smart logistics, atau promosi ekspor. Dalam menetapkan arah ini, pemerintah China menjadikan sumber daya publik relevan dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan di sektor swasta. Sektor swasta adalah pihak yang paling memahami kebutuhan komersial di pasar dan pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan bisnis mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Sebagai contoh dari kemitraan pemerintah-swasta, pada tahun-tahun awal dorongan pengembangan e-commerce di pedesaan China, logistik hanya mencapai tingkat kabupaten atau kecamatan. Ketika e-commerce perkotaan berkembang, subsidi pemerintah diberikan kepada beberapa pengguna platform e-commerce di daerah paling terpencil untuk memastikan bahwa produk sampai di daerah tersebut. Seiring meningkatnya volume perdagangan, perusahaan swasta mulai berinvestasi pada logistik di daerah-daerah terpencil tersebut. Platform e-commerce juga mendirikan pusat pelatihan lokal yang tidak hanya bermanfaat bagi karyawan mereka sendiri, tetapi juga memberikan pelatihan kepada pemuda setempat yang kemudian menjadi penggerak komunitas terpadu untuk menumbuhkan ekosistem e-commerce di pedesaan.

Ketiga, menumbuhkan rasa optimisme dan ketahanan, terutama di kalangan pengusaha muda. Di China, banyak sekali anak muda yang menciptakan bisnis yang cukup besar dari nol, tidak hanya di kota tetapi juga di daerah pedesaan. Selain di China, kami juga melihat contoh peran luar biasa dari pengusaha yang hebat.

Di Indonesia, misalnya, banyak sekali kisah inspiratif. Shipper mengatasi masalah paling menantang di Indonesia dengan mendigitalkan infrastruktur logistik di tingkat negara, sehingga meningkatkan efisiensi biaya pada skala nasional. Kemudian SayurBox, sebuah platform e-commerce dengan konsep dari ladang pertanian-ke-meja makan, yang memungkinkan petani di desa menjual produk langsung ke pengecer dan pelanggan. Ini membantu mereka membuat keputusan perencanaan dengan memanfaatkan data digital yang dikumpulkan dari platform tersebut. Contoh lainnya, Warung Pintar, merupakan perusahaan teknologi yang memberikan solusi bagi pemilik warung untuk memantau kemajuan usaha mereka secara lebih efektif, sehingga membantu kehidupan masyarakat kalangan bawah melalui pemanfaatan teknologi digital.

Indonesia digital enterpreneur
Ilustrasi wirausaha digital. Foto: Shutterstock.com

Memutuskan untuk menjadi wirausahawan tidak selalu menjadi hal yang rasional, mengingat banyak tantangan yang harus dihadapi dan seringkali mengalami kegagalan, terutama di pasar yang baru berkembang dengan infrastruktur dan dukungan yang terbatas. Ini merupakan komitmen sangat besar untuk mewujudkan visi dan misi seseorang dan juga membutuhkan dedikasi yang kuat. Namun, dengan semakin banyak bermunculannya program pelatihan pendidikan kewirausahaan, dan semakin banyak contoh mereka yang berhasil, diiringi insentif pemerintah untuk mendukung inovasi digital dan mengelola risiko, maka prospek generasi baru pelopor digital akan semakin meningkat.

Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia

Indonesia telah mengambil langkah besar untuk mengembangkan ekonomi digital secara aktif. Laporan utama Bank Dunia berjudul Beyond Unicorn telah memetakan beberapa intervensi pelengkap untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif di Indonesia, seperti pengembangan logistik, mempromosikan layanan keuangan digital dan solusi pembayaran digital, meningkatkan konektivitas digital, universalisasi akses, dan menumbuhkan keterampilan digital abad ke-21. Aspek lainnya seperti reformasi regulasi perlindungan (data) konsumen, perlindungan pekerja, menyamakan kedudukan dengan vendor offline, dan kebijakan persaingan, akan menjadi penting bagi Indonesia dalam mengembangkan ekonomi digital yang lebih inklusif.

Momentum selanjutnya dapat diciptakan dengan belajar dari kesuksesan China sebagai inspirasi dan referensi untuk perbaikan, dengan melakukan penyesuaian yang tepat. Keberhasilan pembangunan ekonomi digital di China memiliki faktor unik yang mungkin tidak dapat dengan mudah ditiru oleh negara berkembang lainnya. Namun, contoh kasus di China melambangkan potensi kemajuan ekonomi digital sebagai pendorong pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan, bahkan pada tingkat awal pembangunan yang tidak sempurna dan tidak lengkap.

Tulisan ini merupakan refleksi dari diskusi panel pada “Leveraging Digital Technologies for Better Jobs and Economic Opportunities” yang diselenggarakan oleh Bank Dunia Indonesia pada 29 September 2021.


Authors

Brian A. Wong

Managing Director of Seacliff Partners Limited

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000