Apa saja penghambat kemajuan perempuan Indonesia? Memahami norma-norma sosial yang membatasi perempuan di dunia kerja.

This page in:
Memahami norma-norma sosial yang membatasi perempuan di dunia kerja Memahami norma-norma sosial yang membatasi perempuan di dunia kerja

“Saya mau jadi perempuan mandiri. Mencoba segala sesuatu dan bisa melakukan apa pun yang saya mau. Belajar tentang hukum dan menjadi pengacara. Saya akan terus belajar sampai tua.” Kata Prita, seorang siswi sekolah menengah berusia 17 tahun di Bandung, Jawa Barat.

“Di Instagram, saya melihat banyak perempuan yang menjadi tentara dan polisi. Saya jadi berpikir, ini kesempatan bagi saya. Saya bisa seperti mereka. Saya harus berani.” Kata Ani, seorang siswi sekolah menengah berusia 18 tahun di Yogyakarta.

Itulah beberapa pendapat anak-anak perempuan Indonesia saat berbicara tentang cita-cita mereka. Cita-cita yang tinggi seperti itu tidak mengagetkan karena pada umumnya anak-anak perempuan Indonesia mempunyai prestasi yang baik di sekolah. Anak-anak perempuan cenderung bersekolah lebih lama dibanding anak laki-laki, dan lebih berprestasi daripada anak laki-laki dalam beberapa mata pelajaran.

Namun, ketika bercakap-cakap dengan perempuan dan laki-laki muda seputar cita-cita dan karir impian mereka di masa depan selalu kembali ke topik lain, yaitu bagaimana tanggung jawab mengasuh anak akan terus mempengaruhi dan membatasi pilihan perempuan.

Jadi, ada kata TETAPI ...

“Sebenarnya, laki-laki dan perempuan berhak punya pekerjaan yang sama. Tapi, tentu saja, perempuan bertanggung jawab kepada generasi berikutnya. Sebaiknya perempuan mempunyai pekerjaan yang lebih cocok bagi dirinya sendiri juga keluarganya. Perempuan seharusnya tidak menghabiskan seluruh waktunya di tempat kerja. Kalau mereka melakukannya, bagaimana mereka bisa memenuhi tanggung jawab mengurus keluarga?” Ini adalah perspektif Nurma, seorang siswi sekolah menengah kejuruan berusia 17 tahun di Sukabumi, Jawa Barat.

Bahkan anak-anak perempuan yang masih sangat muda pun sudah melihat bahwa suatu hari nanti mereka harus mengerjakan tugas-tugas mengasuh anak, dan sebagian besar dari mereka sudah mengantisipasinya dalam rencana masa depan mereka.

Para anak laki-laki, bahkan yang ibunya mempunyai karir profesional, berharap bahwa istri mereka kelak akan bekerja beberapa tahun saja sebelum mereka mempunyai bayi. Setelah itu, kebanyakan perempuan hanya bisa berharap pada pekerjaan paruh waktu atau mengelola usaha kecil dari rumah sebagai penghasilan tambahan, tidak lebih.

“Setelah mempunyai anak, perempuan menjadi seorang ibu dan tidak bisa melupakan tanggung jawabnya untuk mengurus anak-anaknya. Saya tidak keberatan kalau istri saya kelak bekerja asalkan ia tidak melupakan tanggung jawab utamanya untuk mengasuh anak.” Kata Hendar, seorang siswa sekolah menengah berusia 18 tahun di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menyimpulkan posisi banyak laki-laki muda.

Meskipun norma-norma sosial yang sekarang ada bisa dianggap cocok atau tidak cocok sesuai dengan konteksnya, hal itu tidak berarti bahwa norma-norma tersebut tidak bisa diubah. Fakta bahwa semakin banyak perempuan Indonesia yang berhasil dalam mengasuh anak dengan tetap produktif dan mempunyai penghasilan memang memberi harapan asalkan mereka menyadari bahwa hal itu memungkinkan dan kalau mereka diberi kesempatan.

Namun, banyak anak perempuan yang masih harus diyakinkan bahwa mempunyai karir yang sukses tidak menghilangkan kemungkinan untuk juga mempunyai keluarga dan menjadi ibu yang baik, dan bahwa pilihan mereka akan didukung oleh pasangan, orang tua dan masyarakat.

Jadi, apa yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut? Kita perlu menginspirasi orang-orang untuk menentang norma-norma gender dan sosial yang ada saat ini seluas mungkin – termasuk pemerintah, orang-orang yang berpengaruh dan kaum muda itu sendiri. Ini mencakup:

  • Kampanye pemberian informasi kepada publik yang memperlihatkan kepada kaum muda apa yang bisa mereka capai dalam karir mereka. Beri teladan yang bisa mereka ikuti, seperti insinyur, ilmuwan, tokoh bisnis dan profesional perempuan. “Mereka berasal dari kota yang sama dan sekolah yang sama denganmu, Prita. Lihat, mereka sudah berhasil, kamu juga bisa”. Selain itu, beri contoh-contoh pasangan suami istri yang berbagi tugas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga: “Inilah cara kami melakukan berbagai hal, kami berhasil”.
  • Layanan bimbingan karir oleh konselor dengan menggunakan “buku pedoman” berbeda, yang tidak membeda-bedakan arahan bagi anak perempuan dan anak laki-laki, dan yang membantu mereka melakukan penelusuran online, menampilkan diri, memanfaatkan kesempatan yang ada dan menghubungkan dengan dunia usaha.
  • Kebijakan-kebijakan yang memungkinkan pengusaha perempuan untuk mengembangkan dan mempertahankan bisnis mereka, serta mudah mendapatkan pinjaman, informasi, ide-ide pemasaran, serta cara-cara mempromosikan produk dan jasa secara online.
  • Kebijakan-kebijakan yang memperkuat kualitas layanan penitipan anak yang terjangkau, dengan menerapkan standar layanan penitipan anak, pelatihan dan akreditasi bagi petugas penitipan anak.
  • Mendukung tempat kerja yang ramah bagi keluarga, dengan memberi waktu kepada orang tua untuk mengurus anak-anak mereka secara fleksibel dan melakukan segala sesuatu secara efektif agar perempuan dapat terus bekerja.

Melalui tindakan-tindakan ini, kita berharap Prita, Ani, Nurma, dan jutaan anak perempuan Indonesia lainnya akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengejar cita-cita dan impian mereka tanpa merasa khawatir bagaimana tetap bertanggung jawab penuh mengurus anak-anak mereka.


Catatan: Kutipan-kutipan diambil dari diskusi kelompok fokus yang diselenggarakan untuk laporan: “Apa Saja Penghambat Kemajuan Perempuan? Studi Kualitatif mengenai Kendala Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia: Kasus di Jawa”. Semua nama adalah nama samaran.


Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000