Bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kualitas layanan dan universalisasi akses internet?

This page in:
How can Indonesia improve the quality of its internet services and universalize access? How can Indonesia improve the quality of its internet services and universalize access?

Ini adalah artikel kedua dari rangkaian blog tentang akses internet di Indonesia.

 

Ekonomi digital yang berfungsi dengan baik membutuhkan akses internet yang luas dan berkualitas tinggi. Meskipun penggunaan internet di Indonesia telah meningkat hampir empat kali lipat dalam dekade terakhir, setengah dari populasi orang dewasa Indonesia masih belum dapat mengakses internet.

Selain itu, hampir semua pengguna internet di Indonesia mengakses melalui perangkat seluler. Meskipun internet seluler (3G atau 4G/LTE) menjadi layanan yang paling banyak digunakan di Indonesia, masih tidak setara dengan internet kabel, baik dalam hal kapasitas, kualitas layanan, kinerja bandwidth tinggi, dan efisiensi biaya. Upaya pembelajaran jarak jauh selama pandemi COVID-19 baru-baru ini, menyoroti keterbatasan internet seluler di mana jutaan siswa dan guru di seluruh Indonesia merasa bahwa paket data seluler mereka tidak memadai dan sangat mahal untuk aplikasi bandwidth tinggi.

Akses terbatas ke internet berkualitas tinggi seperti ini menghambat masyarakat dalam menggali kemampuan produktifnya untuk memetik manfaat ekonomi digital sepenuhnya. Hal ini memberikan dua tantangan utama, yaitu bagaimana membuat akses internet kabel menjadi universal dan meningkatkan kualitas internet.

Meningkatkan cakupan jaringan serat optik adalah solusi yang penting, namun tidak cukup. Di saat investasi oleh penyedia layanan swasta, bersama dengan proyek-proyek pemerintah seperti Palapa Ring[1], terus meningkatkan konektivitas dan ketersediaan layanan di seluruh kabupaten di Indonesia, ternyata jumlah pelanggan internet tidak meningkat secara paralel. Hanya 26 persen rumah yang memiliki akses ke penyedia internet kabel yang berlangganan layanan ini.

Rendahnya tingkat berlangganan sebagian besar disebabkan oleh masalah biaya dan kualitas. Harga paket data seluler Indonesia relatif terjangkau dibandingkan dengan paket serupa di negara tetangga, namun hal ini tidak berlaku pada paket internet kabel. Dalam peringkat ITU 2019 untuk biaya berlangganan internet kabel, Indonesia berada di peringkat 131 dari 200 negara dan wilayah yang diamati dalam hal keterjangkauan biaya. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah salah satu pasar internet kabel yang paling mahal. Hampir separuh rumah tangga Indonesia (44 persen) menyebut biaya tinggi sebagai alasan utama mereka tidak berlangganan layanan internet kabel.

Selain biaya yang mahal, kualitas layanan internet di Indonesia termasuk yang terendah dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Indonesia mencatat kecepatan download internet seluler paling lambat kedua (17,24 Mbps), seikit di atas Kamboja (16,4 Mbps). Untuk kecepatan internet kabel, Indonesia paling lambat ketiga di ASEAN, setelah Kamboja dan Myanmar.

Kecepatan internet seluler dan kabel (Mbps)

ImageImage

Sumber: Ookla Speedtest, Februari 2022.

Catatan: Kecepatan internet seluler di tabel kiri dan kecepatan internet kabel di tabel kanan.

 

Apa penyebab internet di Indonesia relatif mahal dan lambat?

Dua faktor utama yang menyebabkan mahalnya harga dan rendahnya kualitas konektivitas internet Indonesia. Pertama, pemakaian bersama infrastruktur, dimana ini adalah praktik umum di antara jaringan internet seluler, namun tidak lazim di pasar jaringan internet kabel. Antara 70 persen hingga 80 persen dari biaya untuk internet kabel biasanya disebabkan oleh infrastruktur pasif, seperti pipa, tiang, hak jalan, dan pekerjaan sipil. Pembebanan bersama biaya di antara penyedia layanan akan membawa manfaat, pengeluaran yang lebih rendah untuk akuisisi, leasing, dan pemeliharaan.

Kedua, skema lisensi yang restriktif membuat penyedia layanan menawar untuk lisensi layanan khusus, ketimbang menyediakan lisensi tunggal untuk semua layanan. Hal ini mengurangi daya saing di pasar internet dengan membatasi masuknya pemain baru, menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen untuk layanan berkualitas lebih rendah, sehingga menghambat adopsi internet.

Pasar internet seluler lebih kompetitif dibanding internet kabel yang terkonsentrasi, dengan Telkom mendominasi pangsa pasar.  

(Pangsa langganan dari berbagai penyedia layanan internet)

Image

Image

Sumber: Data langganan, berbagai sumber. Perkiraan jumlah langganan diambil dari memo investor Q3 2018 masing-masing perusahaan.

Sumber: Pangsa langganan internet seluler di tabel kiri dan pangsa langganan internet kabel di tabel kanan berdasarkan penyedia layanan.

 

Untuk mengatasi hambatan regulasi ini, Indonesia dapat mempertimbangkan dua langkah kebijakan seperti yang disarankan dalam laporan Beyond Unicorn Bank Dunia. Pertama, pemerintah dapat mendorong pemakaian bersama infrastruktur, baik  secara aktif maupun pasif. Aturan yang baru-baru ini diberlakukan menjadi awal yang baik untuk menunjukkan upaya pemerintah dalam meningkatkan pemakaian bersama infrastruktur pasif. Tindak lanjut penegakan hukum akan berperan penting. Selain itu, pengaturan pemakaian bersama infrastruktur pasif dan penyelesaian sengketa yang cepat dan efektif harus menjadi tanggung jawab sebuah lembaga. Terakhir, melalui kemitraan pemerintah-swasta dapat mempercepat investasi dalam konektivitas internet. Misalnya, untuk penyebaran serat optic, penyedia layanan internet dapat bekerja sama dengan penyedia layanan publik untuk menggunakan tiang telekomunikasi dan saluran bawah tanah yang sudah tersedia.

Kedua, Indonesia harus memperkuat persaingan di sepanjang rantai nilai broadband dengan menyederhanakan proses perizinan untuk mendorong masuknya pemain baru dan pengembangan produk yang lebih maju. Konsumen juga harus diberikan kemungkinan untuk beralih di antara penyedia layanan dengan memungkinkan transfer nomor telepon antar penyedia layanan.

Anda mempunyai pendapat lainnya tentang bagaimana meningkatkan akses dan kualitas internet di Indonesia? Silakan bagikan di kolom komentar di bawah.

Artikel ini adalah bagian dari serangkaian blog yang membahas kesenjangan digital dalam konteks akses internet broadband, akses internet seluler, ekonomi digital, dan tata kelola digital, berdasarkan hasil laporan Beyond Unicorn.

 

[1] Proyek Palapa Ring adalah kemitraan pemerintah-swasta (KPS) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan dilaksanakan selama 2015–2019, telah berhasil memperluas tulang punggung telekomunikasi domestik ke seluruh tanah air. Proyek Palapa Ring yang asli dibagi menjadi bagian yang layak secara komersial dan bagian yang tidak layak secara komersial. Bagian yang layak secara komersial (457 kabupaten/kota) dilakukan oleh pihak swasta dan mencakup rute dari Lombok ke Kupang, SMPCS (Sistem Kabel Sulawesi-Maluku-Papua) hingga Jayapura dan Merauke, dan beberapa proyek kabel yang lebih kecil. Bagian Palapa Ring yang tidak layak secara komersial (57 distrik) dibiayai melalui Dana Kewajiban Layanan Universal (KPU/USO) (dibiayai oleh retribusi atas pendapatan bersih perusahaan telekomunikasi) dan juga dilaksanakan pada 2015–201919.


Authors

Putu Sanjiwacika Wibisana

Consultant, World Bank Poverty and Equity team, Indonesia

Utz Pape

Lead Economist, Poverty and Equity Global Practice

Natasha Beschorner

Senior Digital Development Specialist

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000