Bicara soal sampah: kecenderungannya adalah kita tidak terlalu memikirkan apakah sampah yang kita hasilkan itu organik atau non-organik. Kita mungkin juga tidak terlalu peduli ke mana larinya sampah itu. Sementara kenyataannya: di Indonesia, sampah rumahtangga kita akan bercampur dengan sampah jutaan rumahtangga lainnya, hingga terbentuklah gunung-gunung sampah yang tak semestinya di tempat pembuangan akhir (TPA) berbagai kota.
Bicara soal pengelolaan sampah yang ideal, para pakar akan mengatakan bahwa tanggungjawabnya bukanlah milik pemerintah kota semata, tetapi milik bersama.
Jumlah penduduk terus meningkat, begitu pula pola konsumsi. Volume sampah pun kian meluap di berbagai TPA.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Saat ini di Indonesia, Bank Dunia tengah mengkaji berbagai cara untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah. Salah satu pilihannya adalah memperbanyak jumlah bank sampah. Belum lama ini saya bersama tim proyek pengelolaan sampah Bank Dunia mengunjungi bank sampah di beberapa kota untuk belajar lebih banyak tentang cara kerjanya.
Apa yang dimaksud dengan ‘bank sampah’? Bank sampah sudah ada di berbagai kelurahan di seluruh tanah air, antara lain di Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sinilah sampah rumahtangga dipilah ke dua kelompok: sampah organik dan sampah non-organik. Sampah organik diolah menjadi kompos, sementara sampah non-organik kemudian dipilah lebih lanjut ke tiga sub-kelompok: plastik, kertas, serta botol dan logam.
Sebagian besar rumahtangga ramah lingkungan di Indonesia menyimpan tiga tong sampah atau kantong sampah besar. Begitu ketiga tong sampah tersebut sudah penuh, isinya lalu bisa “ditabung” di sebuah bank sampah. Seperti halnya sebuah bank komersil, kita bisa membuka rekening di sebuah bank sampah. Secara berkala, kita bisa mengisi tabungan kita dengan sampah non-organik yang ditimbang dan diberi nilai moneter, sesuai harga yang sudah ditentukan oleh para pengepul. Nilai moneter ini ditabung, dan sama halnya sebuah bank komersil, isi tabungan tersebut bisa ditarik sewaktu-waktu. Di manapun tempatnya, prinsip-prinsip dasar bank sampah tetap sama: untuk menyimpan sampah, untuk menabung, untuk menghasilkan uang, untuk mengubah perilaku dan menjaga kebersihan.
Prinsip-prinsip kebersihan dan pengelolaan sampah ramah lingkungan diterapkan sejak dini di sebuah sekolah menengah atas di Manado, Sulawesi Utara. Para siswa SMA 7 mulai menerapkan pola hidup ramah lingkungan di lingkungan sekolahnya sejak tahun 2007, dengan membuat kompos dari sampah organik dari kantinnya. Beberapa tahun kemudian, sebuah bank sampah resmi didirikan di SMA 7 dan para siswa mulai menyadari untungnya menyimpan botol dan bungkus makanan plastik. Hasil tabungan mereka di bank sampah diakui sejumlah siswa cukup membantu untuk membayar kebutuhan-kebutuhan sekolah. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia pun memberi penghargaan khusus bagi SMA 7 karena dianggap sangat berprestasi dalam menerapkan jiwa ramah lingkungan di kalangan siswanya.
Di kota Balikpapan, seorang mantan anggota DPRD mendirikan sebuah bank sampah yang lebih konvensional. “’Sampah adalah teman kita. Sampah adalah uang. Itu yang selalu saya tekankan pada warga,” ujar Sobirin, pendiri bank sampah di kelurahan Gunung Samarinda. Sejak pertama berdiri tahun 2010 lalu, sampah non-organik yang terkumpul di bank sampah Sobirin bisa mencapai 2-3 ton per bulan.
“Di bank sampah ini, tiap rumahtangga rata-rata menabung sekitar 50 ribu rupiah per bulan. Lama kelamaan, jumlah yang terkumpul lumayan membantu buat membaya keperluan rumah tangga dan sekolah,” tambah Sobirin.
Tentunya bank sampah Sobirin takkan sukses tanpa partisipasi sejumlah relawan. Selain ketiga relawan yang menangani operasional harian bank sampah, Sobirin juga didukung relawan di 29 titik pengumpulan sampah. Salah satunya, Ibu Mimin, bahkan membuat teroboson sendiri: sampah non-organik yang dikumpulkan di rumahnya bisa ditukar dengan sembako yang tesedia di warung miliknya.
“Tiap minggu saya selalu mengingatkan ibu-ibu lain saat pertemuan PKK bahwa merea bisa menukar sampah menjadi sembako, sesuai dengan berat sampah non-organik yang mereka setor,” kata Ibu Mimin.
Sementara di Sukunan – sebuah desa kecil di kabupaten Sleman, DIY – Iswanto, seorang pakar pengelolaan sampah memperkenalkan konsep ‘bank sampah shodaqoh’, dimana warga bersedekah kepada komunitasnya dengan penghasilan yang diperoleh dari penjualan sampah non-organik. Sekitar 230 dari 300 rumah tangga di Desa Sukunan ikut terlibat dalam program shodaqoh sampah
ini, dan mengumpulkan sekitar 2 ton sampah non-organik per bulan. Hasil penjualan sampah yang terkumpul kemudian digunakan untuk keperluan komunitas – seperti taman bermain contohnya – yang ditentukan langsung oleh warga setempat.
Telusuri Desa Sukunan dan kita takkan melihat sampah berserakan di jalan atau mencium aroma sampah terbakar. Menurut Iswanto, ”Warga disini sudah terlalu malu untuk bakar sampah di pekarangan rumah – tetangga-tetangga mereka sendiri yang bakal menegur.”
Bank sampah juga bisa ditemukan di berbagai negara lain selain Indonesia. Kami di Indonesia sangat tertarik untuk belajar tentang pengalaman mengelola bank sampah di negara-negara lain.
Join the Conversation