Ilmu kelautan untuk terumbu karang yang sehat dan komunitas tangguh: 21 Tahun COREMAP di Indonesia

This page in:
Mengukur terumbu karang di lautan Indonesia ? melacak tingkat kesehatan terumbu karang sangat penting untuk mengukur tingkat produktifitas dan jasa lingkungan yang dapat diberikan oleh habitat penting ini. Foto: LIPI Mengukur terumbu karang di lautan Indonesia – melacak tingkat kesehatan terumbu karang sangat penting untuk mengukur tingkat produktifitas dan jasa lingkungan yang dapat diberikan oleh habitat penting ini. Foto: LIPI

Indonesia terdiri dari kota-kota yang ramai dan pulau-pulau terpencil yang menakjubkan. Kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan 260 juta penduduk tersebut memiliki segala hal, mulai dari gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan hingga desa-desa kecil yang tersebar di berbagai kepulauan nan hijau yang membentang di perairan yang berkilauan.  

Ketergantungan negara pada sumber daya pesisir dan kelautannya menghubungkan realita yang berlawanan. Ekonomi kelautan Indonesia – jumlah dari seluruh kegiatan yang mengandalkan kelautan - bernilai lebih dari $280 miliar per tahun[1] (lebih dari seperempat dari ekonomi negara). Lautan sangat penting untuk ketahanan pangan Indonesia - penyumbang 52% protein negara - sementara pantai adalah tulang punggung masyarakat Indonesia, karena 70% populasi tinggal di daerah pesisir.

Namun ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memahami sumber daya kelautan, dan manajemen berbasis bukti yang didukung oleh ilmu pengetahuan masih perlu diperkuat. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa manfaat yang diberikan ekosistem kepada masyarakat dan perekonomian dapat sepenuhnya terwujud. Sebagai contoh, pemahaman ilmiah tentang kesehatan terumbu karang dapat membantu merancang strategi pengelolaan terumbu karang secara lebih baik. Terumbu karang merupakan sumber daya yang dapat memberikan nilai lebih hingga $3,1 miliar ke Indonesia melalui pariwisata setiap tahunnya[2]. Sementara itu, manajemen yang efektif diperlukan untuk melindungi terumbu dari ancaman  bom, yang merusak terumbu dan stok ikan dan membahayakan mata pencaharian.

Mengkoleksi data hutan bakau – Indonesia memilki jaringan hutan bakau yang sangat luas. Jaringan ini melindungi daerah pesisir dan merupakan daerah pembibitan ikan yang sangat penting. Foto: LIPI
Mengkoleksi data hutan bakau – Indonesia memilki jaringan hutan bakau yang sangat luas. Jaringan ini melindungi daerah pesisir dan merupakan daerah pembibitan ikan yang sangat penting. Foto: LIPI

Program Pemerintah Indonesia yakni Coral Reef Rehabiliations and Management Program (COREMAP), yang dibiayai oleh Bank Dunia dan Global Environment Facility (GEF), secara bertahap tetapi secara signifikan telah membangun kapasitas ilmu dan manajemen tersebut selama 21 tahun. Dimulai pada tahun 1998 sebagai proyek percontohan untuk menguji pengelolaan perikanan berbasis masyarakat, tahap pertama COREMAP meletakkan dasar legislatif bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya pesisir mereka sendiri. Setelah mengembangkan model yang bisa diterapkan, COREMAP diperluas lagi dan berhasil mengeluarkan hasil yang baik: lebih dari 350 perencanaan pengelolaan yang kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah daerah; peningkatan pemahaman yang signifikan tentang kesehatan laut; kembalinya spesies langka; 17% pertumbuhan tutupan terumbu karang di enam dari tujuh kabupaten di mana kegiatan berada; dan peningkatan pendapatan penerima manfaat sebanyak 20%[3].

COREMAP sebentar lagi akan berumur 21 tahun dan akan memasuki fase ketiga. Dikenal sebagai COREMAP-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI), proyek ini membangun dari keberhasilan sebelumnya dengan memperkuat kapasitas penelitian lautan Indonesia. Kegiatan penelitian dipimpin oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan meliputi:

  • Program pemantauan terumbu karang nasional: LIPI dan ilmuwan universitas kini secara sistematis melacak kesehatan terumbu karang Indonesia yang berharga untuk pertama kalinya, mengidentifikasi area yang membutuhkan perhatian, memantau dampak pencemaran dan perubahan manajemen, dan menyediakan data melalui portal berbasis daring.
  • Laboratorium kelautan yang ditingkatkan: enam laboratorium yang berlokasi di seluruh Nusantara sedang ditingkatkan untuk melakukan penelitian kelautan yang lebih komprehensif. Ini termasuk laboratorium bio-industri di pulau Lombok yang  meneliti peluang-peluang baru untuk mengkomersialkan spesies bernilai tinggi seperti teripang dan mutiara tiram (terus ikuti seri blog COREMAP kami untuk mendapatkan blog mendatang tentang topik ini).
  • Penemuan di perairan yang belum dipetakan: Ekspedisi Nusa Manggala, sebuah proyek yang mengirim 55 ilmuwan dalam perjalanan dua bulan di pulau-pulau terluar Indonesia yang kurang dieksplorasi. Tim tersebut – yang berlatar belakang akademisi dan pemerintah - mengidentifikasi area untuk taman laut, area pengembangan pariwisata potensial, dan keanekaragaman hayati yang langka.
  • Metode baru untuk memantau lamun dan bakau: Indonesia adalah rumah bagi lamun dan hutan bakau terbesar di dunia, menyediakan fungsi ekonomi yang penting. Program ini melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas untuk memantau dan melindungi sistem ini untuk membantu Indonesia dalam memanfaatkan nilai tambah dari kedua asset ini.
  • Pusat pelatihan regional baru: Peningkatan Regional Training and Research Center for Marine Biodiversity and Ecosystem Health (RTRC MarBEST). Fasilitas ini melatih dan mendukung para ilmuwan dan manajer muda dari seluruh kawasan untuk mengatasi ancaman laut dan meningkatkan kolaborasi lintas batas.
  • Penelitian yang menanggapi kebutuhan kebijakan dan ekonomi: COREMAP-CTI menyediakan hibah untuk mendukung peneliti menjawab pertanyaan praktis. Hasil sejauh ini termasuk hasil riset krim perawatan kulit yang didasarkan pada produk kelautan, serta pemahaman baru tentang dampak pariwisata di daerah sensitif.

Namun kontribusi COREMAP-CTI tidak terbatas pada teori dan ilmu pengetahuan semata. Bulan depan, proyek ini akan meluncurkan serangkaian hibah kecil untuk mendukung dua kawasan konservasi laut yang signifikan secara nasional, Raja Ampat dan Laut Sawu. Hibah tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan bagi prakarsa-prakarsa seperti infrastruktur kecil untuk ekowisata, pengawasan masyarakat terhadap penangkapan ikan ilegal, dan implementasi rencana aksi nasional untuk spesies yang terancam (sebuah topik dalam seri blog ini yang akan keluar dalam waktu dekat).

Dalam menyatukan penelitian yang kuat dan meningkatkan kapasitas pengelolaan, COREMAP membantu Indonesia menjadi pemimpin dalam memanfaatkan mutu dari ekonomi biru. Ini berarti mengelola aset laut untuk pertumbuhan nasional, memperkuat mata pencaharian pedesaan, sekaligus melindungi lingkungan alam. Dengan kata lain, memastikan seluruh masyarakat Indonesia — dari generasi urban berikutnya hingga nelayan di komunitas terpencil — mendapat manfaat dari lautan yang sehat.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki berbagai ukuran pulau nan hijau yang dikeliling oleh pantai pasir dan terumbu karang yang indah. Foto: LIPI
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki berbagai ukuran pulau nan hijau yang dikeliling oleh pantai pasir dan terumbu karang yang indah. Foto: LIPI

Blog ini adalah yang pertama dari serangkaian perayaan peringatan 21 tahun Coral Reef Rehabiliations and Management Program (COREMAP), upaya jangka panjang oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi ekosistem terumbu karang negara tersebut dan mendukung komunitas yang hidup bersama mereka. Setiap blog akan fokus pada tujuan atau pencapaian dari investasi perintis ini pada masa depan pantai dan lautan Indonesia.

——————————————————————————————————————————————

[1] Ebarvia, M. 2016. Economic Assessment of Oceans for Sustainable Blue Economy Development. Journal of Ocean and Coastal Economics, 2(2). Figure adjusted for 2019 US$.

[2] Spalding MD; et al. (2017). Mapping the global value and distribution of coral reef tourism. Marine Policy, 82: 104-113.

[3] World Bank (2012). Implementation Completion and Results Report: COREMAP II  (link)


Authors

André Rodrigues de Aquino

Lead Environmental Specialist

David Kaczan

Senior Economist, World Bank

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000