Membuka jalur pekerjaan kelas menengah bagi perempuan Indonesia

This page in:
Photo: Josh Estey/World Bank Photo: Josh Estey/World Bank

Santi mengelola tim teknologi dan informasi di sebuah perusahaan e-commerce besar di Jakarta. Setelah lulus dari perguruan tinggi teknik dengan gelar di bidang ilmu komputer, keterampilannya ditangkap oleh perusahaan di sektor teknologi Indonesia yang sedang berkembang, dan dalam waktu sepuluh tahun ia dengan cepat mengembangkan karirnya. Selama perjalanan karirnya, dia telah berkeluarga dan memiliki dua anak. Perusahannya mengizinkan jam kerja yang fleksibel dan memberikan tunjangan melahirkan yang cukup, sehingga tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga tidak menghambatnya dalam membangun karir. Dan selama pandemi COVID-19, Santi bisa bekerja dari rumah dengan lancar.

Namun, kisah Santi merupakan pengecualian terhadap norma bagi perempuan di Indonesia. Dia memiliki “pekerjaan kelas menengah” – yaitu pekerjaan dengan penghasilan setidaknya Rp 3,8 juta atau USD 265 per bulan (mengacu kepada angka pada 2018) dan memberikan tingkat keamanan pendapatan serta manfaat yang sesuai dengan harapan kelas menengah. Akan tetapi, pada tahun 2018 hanya sekitar 15 persen dari keseluruhan pekerja yang menerima pendapatan – terdiri dari buruh/karyawan/pegawai, pekerja lepas, and pekerja mandiri – termasuk dalam kategori pekerja kelas menengah . Pekerja perempuan bahkan memiliki kemungkinan yang lebih kecil lagi untuk memiliki pekerjaan kelas menengah daripada laki-laki. Dari seluruh pekerjaan yang memberikan penghasilan, hanya 35 persen dimiliki oleh perempuan. Sementara, dari seluruh perempuan yang memperoleh penghasilan tersebut, hanya 29 persen saja yang tergolong pekerjaan kelas menengah (Gambar 1).  


Gambar 1. Perempuan kurang terwakili dalam pekerjaan kelas menengah

Distribusi pekerjaan yang menghasilkan pendapatan dan pekerjaan kelas menengah (MC), menurut gender

Image

Sumber: Sakernas 2018; perhitungan staf Bank Dunia
Catatan: Sakernas adalah Survei Angkatan Kerja Nasional

 

Salah satu penyebab sulitnya perempuan Indonesia mendapatkan pekerjaan kelas menengah adalah karena mereka tidak memiliki akses ke pasar tenaga kerja.  Diperkirakan hanya separuh dari jumlah perempuan usia kerja di Indonesia yang berpartisipasi dalam angkatan kerja, dibandingkan dengan sekitar 80 persen pada laki-laki . Hal ini terus terjadi selama setidaknya dua dekade, meskipun pencapaian pendidikan oleh anak perempuan meningkat dan tingkat kesuburan menurun.

Setidaknya ada tiga faktor utama yang dapat menjelaskan mengapa tingkat partisipasi angkatan kerja – dan akses ke pekerjaan kelas menengah – sangat terbatas bagi perempuan Indonesia. Pertama, perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja muncul pada masa transisi dari sekolah ke lapangan pekerjaan, dengan menikah dan melahirkan menjadi prediktor terbesar perempuan tidak melakukan transisi ke lapangan pekerjaan. Sulitnya memenuhi kebutuhan akan mengasuh anak dan merawat orang tua berdampak pada berkurangnya keputusan perempuan untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja. 

Kedua, ketika memasuki pasar tenaga kerja, perempuan masuk ke dalam kelompok pekerjaan jasa dengan gaji yang lebih rendah. Perempuan menempati pekerjaan penting di bidang kesehatan dan pendidikan, akan tetapi gaji untuk pekerjaan perawat dan pengajar tergolong rendah. Selain itu, mata pelajaran yang dipelajari perempuan ketika mengenyam pendidikan pasca sekolah menengah belum selaras dengan yang dibutuhkan pekerjaan kelas menengah. Misalnya, perempuan kurang terwakili dalam mata pelajaran seperti sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) (Gambar 2).


Gambar 2. Perempuan berpendidikan tinggi lulus pada mata pelajaran dengan akses terbatas ke pekerjaan kelas menengah

Distribusi bidang studi pendidikan pasca sekolah menengah, menurut jenis kelamin dan pekerjaan kelas menengah (MC)/non-kelas menengah (Non-MC)

Image

Sumber: Sakernas 2018; perhitungan staf Bank Dunia
Catatan: Sakernas adalah Survei Angkatan Kerja Nasional

 

Ketiga, bahkan jika perempuan menempati pekerjaan yang sama dengan laki-laki, kesenjangan pendapatan tetap besar. Laki-laki Indonesia berpenghasilan rata-rata 25 persen lebih besar daripada perempuan Indonesia untuk pekerjaan serupa . Sebagian besar diakibatkan norma-norma sosial yang sulit dihilangkan: misalnya, persepsi bahwa pekerjaan perempuan adalah pelengkap bagi pekerjaan pasangan atau kerabat laki-laki mereka, dapat menyebabkan perusahaan menawarkan upah yang lebih rendah, atau justru perempuanlah yang bersedia menerima upah yang lebih rendah untuk pekerjaan yang setara.

Terlepas dari tantangan ini, beberapa kebijakan pemerintah dapat membantu perempuan memiliki akses yang lebih baik ke pekerjaan kelas menengah.

Pertama, pemerintah dapat berinvestasi pada bidang perawatan (care economy). Perubahan norma gender pada akhirnya dapat menyebabkan laki-laki mengambil alih lebih banyak tanggung jawab pekerjaan rumah tangga. Dalam jangka pendek, ini bisa membantu perempuan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan tugas mereka di rumah[1]. Hal ini memainkan peran penting untuk mendukung keberhasilan perempuan memasuki pasar tenaga kerja. Berinvestasi dalam layanan perawatan di Indonesia juga dapat berkontribusi pada bertumbuhnya lebih banyak jenis pekerjaan di bidang layanan perawatan, sehingga memberikan dampak positif pada partisipasi angkatan kerja perempuan.[2]

Kedua, memfasilitasi pembelajaran. Sebagian besar pekerjaan kelas menengah membutuhkan setidaknya pendidikan setara SMA. Hanya 39 persen perempuan Indonesia di usia kerja yang memiliki pendidikan SMA atau lebih tinggi, dibandingkan dengan 43 persen pada pria usia kerja. Selain itu, penjurusan di jenjang pasca SMP bagi perempuan dapat lebih diselaraskan dengan pekerjaan kelas menengah. Selain kebutuhan keterampilan kognitif tingkat tinggi dan keterampilan interpersonal, pelatihan singkat di bidang keterampilan kewirausahaan dan digital dapat mendukung perempuan untuk berpartisipasi dalam lapangan kerja. Kewirausahaan[3] dan e-commerce dapat membantu perempuan kembali bekerja setelah melahirkan.

Ketiga, menurunkan biaya mobilitas tenaga kerja bagi perempuan. Pindah pekerjaan umumnya dilakukan untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik. Sayangnya, biaya mobilitas tenaga kerja di Indonesia tergolong tinggi, terlebih lagi bagi perempuan. Sektor jasa bernilai tinggi menjadi tujuan utama menuju pekerjaan kelas menengah bagi perempuan. Namun, untuk memasuki pekerjaan di sektor ini merupakan salah satu yang membutuhkan biaya paling mahal, dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan keterampilan, jaringan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, dan masa tunggu yang lama. Praktik peraturan ketenagakerjaan yang mendukung, seperti Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dapat memfasilitasi mobilitas pekerjaan. Layanan pencarian kerja yang komprehensif seperti SiapKerja dan KarirHub dapat memberikan informasi dan pembinaan yang dibutuhkan dalam membentuk preferensi dan harapan kerja perempuan. Hal ini dilakukan melalui identifikasi tujuan karir, mendapatkan pelatihan dan dukungan sosial lainnya yang memungkinkan perempuan mendapatkan pekerjaan.

Krisis COVID-19 bisa memberikan dorongan baru untuk mendukung perempuan masuk ke dalam pasar kerja kelas menengah. Pada bulan Agustus 2020, krisis Covid-19 memberikan dampak bersih positif terhadap lapangan pekerjaan untuk perempuan.  Namun, sama seperti apa yang terjadi ketika krisis keuangan Asia merebak, para perempuan tersebut mungkin hanya bermaksud bekerja untuk sementara waktu saja dan melakukan pekerjaan berkualitas rendah, agar bisa membantu rumah tangga mereka melewati masa pandemi.

Apakah para pendatang baru pekerja perempuan ini dapat bertahan di dunia kerja dan menemukan jalan mereka menuju pekerjaan kelas menengah seperti Santi? Ini tetap menjadi pertanyaan penting untuk kesetaraan gender dalam jangka panjang di pasar tenaga kerja Indonesia.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang agenda reformasi pekerjaan di Indonesia, akses laporan yang baru-baru ini diterbitkan di sini.

 

[1] Misalnya dengan melindungi perempuan dari pemecatan selama kehamilan, memberikan cuti melahirkan, memungkinkan jam kerja yang fleksibel, memastikan pengaturan menyusui yang memadai di tempat kerja, dan menyediakan layanan perawatan anak/ orang tua yang berkualitas dan terjangkau.


Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000