Mengukur dan memahami kekerasan berbasis gender di Indonesia selama pandemi COVID-19

This page in:
Gender-Based Violence in Indonesia amid the COVID-19 pandemic (Image: Shutterstock) Gender-Based Violence in Indonesia amid the COVID-19 pandemic (Image: Shutterstock)

Tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung lama dan menjadi penghambat pembangunan. Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 berhubungan erat dengan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga. Bertambahnya tekanan karena risiko kesehatan dan ketidakpastian ekonomi tampaknya memicu konflik dalam rumah tangga; sementara penyintas (survivor) yang terjebak di ruang gerak yang sama dengan pelaku, menghadapi risiko pelecehan yang lebih besar.

Ketika pembuat kebijakan, organisasi kemasyarakatan, dan akademisi melakukan studi sebagai upaya untuk memahami besarnya masalah tersebut dan mengembangkan solusi untuk mencegahnya, darurat COVID-19 menghadirkan tantangan tambahan, yaitu bagaimana cara mengumpulkan data tanpa membahayakan keselamatan responden? Hal ini menjadi semakin sulit ketika pengumpulan data berubah format menjadi survei jarak jauh, yang memungkinkan kondisi di mana penyintas maupun pelaku berada di ruang yang sama akibat lockdown COVID-19.

Setelah 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender (Gender-Based Violence atau GBV) berlalu, kami mempertimbangkan diterapkannya suatu inovasi dengan menyusun ulang pertanyaan-pertanyaan GBV untuk meminimalkan risiko yang mungkin muncul pada saat pengumpulan data survei melalui telepon, dan berbagai hal yang terungkap lewat data tentang kebijakan dan program yang dapat memitigasi GBV.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak secara langsung menanyakan perihal pengalaman GBV. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menyajikan serangkaian perumpamaan (proxy) dan penggambaran (vignette) yang jika digunakan secara bersama-sama bertujuan untuk menangkap pengalaman seseorang saat menjadi korban kekerasan. Pertanyaan yang menggunakan perumpamaan menanyakan tentang pengalaman cedera, perasaan aman, frekuensi pertengkaran. Sedangkan penggambaran menyajikan situasi hipotetis (misalnya suami menyerang istrinya karena tekanan ekonomi) dan bertanya kepada responden apakah situasi tersebut biasa terjadi di komunitas mereka. Tim pengumpul data menuruti pedoman WHO ketika memberikan pelatihan bagi para pencacah (enumerator), dan mengembangkan protokol untuk memastikan bahwa responden sendirian saat memulai wawancara. Mereka juga dilatih menyampaikan kode tertentu untuk melewatkan suatu pertanyaan tertentu, atau mengakhiri wawancara jika responden tidak lagi sendirian selama wawancara.
 

Tim East Asia & Pacific Gender Innovation Lab Bank Dunia menggunakan pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengumpulkan data dari 866 perempuan di Indonesia pada akhir bulan Agustus 2020. Para responden merupakan bagian dari kegiatan evaluasi dampak yang sedang berlangsung terhadap berbagai program pemerintah Indonesia untuk calon migran. Dengan demikian, survei tersebut tidak bisa mewakili secara nasional. Namun, kekayaan data yang dikumpulkan bersamaan dengan GBV ini, memberikan beberapa temuan berharga tentang faktor-faktor yang terkait dengan paparan GBV yang lebih besar, juga memburuknya situasi yang dirasakan karena pandemi COVID-19.


Survei via telepon tersebut juga mengumpulkan informasi yang kaya tentang pekerjaan, unit usaha non-pertanian, pengiriman uang, ketahanan pangan, bantuan sosial, pengetahuan tentang COVID-19, pekerjaan rumah tangga, dan gejala kesehatan. Kami dapat mengaitkan informasi ini dengan data sebelumnya yang dikumpulkan dari rumah tangga yang sama pada tahun 2018. Dengan data yang kaya ini, kami menggunakan pembelajaran mesin (machine learning) untuk mengidentifikasi indikator-indikator yang berperan penting dalam memprediksi pengalaman kekerasan selama enam bulan terakhir sebelum survei, juga memburuknya situasi yang terjadi. Namun, algoritma pembelajaran mesin tidak memberikan informasi apakah suatu indikator dapat dikaitkan dengan insiden kekerasan yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Untuk itu, kami menerapkan analisis regresi terhadap aspek dugaan GBV terkuat yang diidentifikasi melalui pemelajaran mesin.

Analisis ini mengarah kepada dua pengamatan penting yang berpengaruh pada respon kebijakan selama pandemi COVID-19:

1. Perempuan dalam rumah tangga yang terindikasi mengalami tekanan ekonomi, seperti kerawanan pangan, memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan

Hal ini sejalan dengan bukti yang menunjukkan bahwa stress akibat kesulitan ekonomi meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Di sisi lain, kerawanan pangan juga dapat menunjukkan bahwa kemiskinan dan norma gender di Indonesia bervariasi  sesuai pendapatan rumah tangga. Seperti yang ditunjukkan grafik di bawah ini, perempuan dari rumah tangga yang lebih kaya di Indonesia cenderung tidak setuju bahwa pemukulan oleh seorang suami dapat dibenarkan, untuk alasan apa pun.

Made with Flourish

 

2. Dengan memiliki pekerjaan, perempuan terlindungi dari peningkatan kekerasan akibat pandemi COVID-19

Hal ini, sekali lagi, sejalan dengan teori bahwa pemberdayaan ekonomi perempuan mengurangi risiko kekerasan dalam rumah tangga: seiring dengan lebih baiknya opsi potensial yang dimiliki oleh perempuan di luar pernikahannya, maka situasi di dalam pernikahan diharapkan juga membaik. Perempuan yang lebih berdaya secara ekonomi tidak hanya bergantung kepada suami untuk mendapatkan penghasilan. Mereka mempunyai pilihan untuk meninggalkan hubungan yang berisi kekerasan, sehingga meningkatkan daya tawar mereka dalam menjalani hubungan, dan oleh karenanya mengurangi tindak kekerasan. Menurut data kami, memiliki pekerjaan adalah faktor perlindungan terkuat dari meningkatnya GBV akibat COVID-19.

Kedua temuan ini memiliki relevansi langsung dengan respon kebijakan terhadap pandemi COVID-19. Pertama, sejumlah pemerintahan telah meningkatkan bantuan sosial. Selain isu-isu lain yang dapat diatasi melalui tindakan tegas ini, tindakan ini tampak berkontribusi untuk mengurangi risiko GBV. Kedua, karena perempuan memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam hal pengasuhan anak selama pandemi, penting untuk memahami banyaknya manfaat terkait pekerjaan perempuan. Salah satunya adalah mengurangi risiko GBV. Temuan kami menambah argumen yang mendukung tindakan kebijakan yang tegas untuk memastikan bahwa pandemi COVID-19 tidak berdampak negatif pada capaian perempuan di pasar tenaga kerja.

Unduh dan baca:

Pertanyaan perumpamaan dan penggambaran tentang kekerasan berbasis gender dikembangkan oleh East Asia & Pacific Gender Innovation Lab, dengan berkonsultasi dengan pakar GBV: Diana Arango dan Amber Peterman. Judul blog ini telah direvisi.

 


Authors

Diana J. Arango

Sr. Gender-Based Violence and Development Specialist, World Bank Group

Join the Conversation

The content of this field is kept private and will not be shown publicly
Remaining characters: 1000