Terdapat banyak tantangan bagi negara berkembang untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik, terutama di daerah perdesaan dan terpencil. Indonesia tidak terkecuali. Walaupun akses ke pendidikan dasar di Indonesia telah mencapai partisipasi universal, kualitas layanan pendidikan dan hasil belajar peserta didik masih rendah.
Bank Dunia baru menerbitkan hasil survei di lima kabupaten yang termasuk berperingkat termiskin di Indonesia. Survei ini dilaksanakan di 270 sekolah dasar di desa terpencil antara tahun 2016-2017. Responden survei mencakup kepala sekolah, guru, peserta didik, komite sekolah, orang tua dan kepala desa.
Pertama, survei ini menemukan sekolah dan desa studi menghadapi tantangan konektivitas yang mungkin menghalang guru-guru terbaik untuk bekerja disini. Secara rata-rata lokasinya berjarak 149 km atau lima jam dari kota kabupaten; hanya 29% yang terhubung dengan jaringan listrik; dan hanya 17% yang memiliki akses internet. Hasil survei mengindikasikan keragaman alokasi sumber daya: 91% sekolah memiliki toilet dengan rasio jender yang seimbang; 54% memiliki perpustakaan; namun hanya 39% memiliki buku teks yang memadai.
Hasil pengamatan mengindikasikan bahwa kesenjangan dapat dikurangi dengan memprioritaskan alokasi pendanaan. Selain itu, renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru dapat memperbaiki kondisi kerja guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil.
Kedua, kualitas layanan pendidikan di sekolah survei terkendala oleh kualifikasi guru, komposisi guru, dan tuntutan mengajar multi kelas. Tiga puluh empat persen guru dan 18% kepala sekolah hanya memiliki pendidikan sekolah menengah atas. Guru PNS merupakan 40% dari seluruh tenaga pengajar, dengan kekurangan diisi oleh guru kontrak (42,5% guru honorer dan 15,8 dikontrak oleh kabupaten atau provinsi).
Di saat guru PNS memiliki pendapatan rata-rata Rp. 8,4 juta per bulan, guru honorer hanya menerima Rp. 550.000. Guru honorer cenderung memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki kualifikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS. Walaupun rasio kelas hampir sebanding dengan rerata nasional (20 siswa per kelas di daerah yang disurvei dibandingkan dengan 23 di tingkat nasional), guru yang disurvei sering kali menggantikan guru yang tidak hadir dan harus mengajar beberapa kelas (di 25% sekolah) meskipun mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan terkait hal ini.
Ketiga, kemangkiran guru adalah masalah serius, karena secara langsung mempengaruhi apakah peserta didik belajar di sekolah atau tidak. Kunjungan mendadak ke sekolah sampel mendapati 25% ruang kelas tidak memiliki guru, dan 17% guru tidak datang ke sekolah.
Analisis kami menunjukkan bahwa kemangkiran guru berkorelasi positif dengan status pegawai negeri, guru laki-laki, dan rendahnya pengawasan oleh kepala sekolah. Dengan kata lain, guru honorer dan guru perempuan lebih sering mengajar. Analisis kami juga menunjukkan, bahwa guru yang dievaluasi oleh kepala sekolah cenderung memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi di sekolah. Oleh karena itu, memastikan pemantauan dan pengawasan guru dapat mengurangi ketidakhadiran guru.
Untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah terpencil, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kualifikasi dan keterampilan guru dan meningkatkan manajemen kinerja guru dan sistem akuntabilitasnya. Dalam jangka pendek, pelatihan pengembangan kapasitas harus memprioritaskan lebih banyak guru di daerah terpencil atau mewajibkan agar sejumlah persentase peserta minimum berasal dari daerah terpencil.
Dalam jangka panjang, guru yang berkualifikasi - guru baru maupun yang sudah mengajar - seharusnya mendapatkan insentif yang lebih baik untuk bekerja di daerah terpencil. Sebenarnya dari sisi kebijakan, bekerja di daerah terpencil seharusnya menghasilkan lebih banyak nilai kredit bagi guru untuk menjadi pegawai negeri, faktanya penempatan di daerah terpencil cenderung memiliki jangka waktu tidak terbatas sehingga membuat banyak guru berkecil hati. Evaluasi dampak KIAT Guru menemukan ketika masyarakat terlibat dalam peningkatan akuntabilitas guru dan tunjangan khusus guru dibayarkan berdasarkan kehadiran, maka hasil belajar murid juga meningkat.
Keempat, dan yang paling memprihatinkan, sebagian besar siswa yang diuji mendapatkan nilai Bahasa Indonesia dan matematika dua tingkat di bawah kelas yang mereka ikuti saat ini. Analisis kami mengaitkan hasil belajar murid yang rendah dengan pendidikan orang tua yang rendah; lebih sedikit waktu yang didedikasikan untuk pendidikan anak mereka; dan jauh lebih sedikit keterlibatan dengan komite sekolah dan guru.
Hal yang mengejutkan, orang tua puas dengan kualitas pendidikan dan hasil belajar. Ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki harapan yang sangat moderat terhadap kualitas pendidikan di sekolah, atau tidak sepenuhnya mengetahui standar layanan yang seharusnya diberikan oleh guru. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua kemungkinan akan meningkatkan tuntutan maupun keterlibatan mereka untuk pendidikan yang berkualitas.
Pada akhirnya, kolaborasi antara guru dan orang tua untuk mendukung pembelajaran baik di sekolan maupun di rumah kemungkinan akan membuahkan aspirasi yang lebih tinggi dan prospek karir bagi para peserta didik.
Info terkait:
Rise working paper 20/035 - scores, camera, action? Incentivizing teachers in remote areas
Join the Conversation