Wajib pajak menghadapi ketidakpastian, kecemasan, dan kebingungan — yang membatasi pengetahuan, kemauan, dan kemampuan mereka untuk membayar pajak
Dalam proyek terbarunya, pemerintah Indonesia dan Bank Dunia mengembangkan intervensi-intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui komunikasi yang sederhana yang inovatif. Melalui kerja sama dengan 24.000 usaha kecil dan menengah (UKM), hasil-hasilnya ternyata mengejutkan — jauh melampaui dari hanya mendorong kepatuhan pajak saja.
Proses umum perpajakan adalah: siapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan, lakukan perhitungan, lalu bayar! Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu Jumlah informasi yang beredar mengenai pelaporan pajak sangat banyak dan membingungkan. Anda mungkin kekurangan waktu atau dana, dan terdapat kegiatan-kegiatan lain yang menyita waktu dalam upaya memenuhi kewajiban pajak Anda. Sehingga kecemasan Anda pun meningkat, ditambah adanya kemungkinan pemeriksaan pajak (seberapapun kecilnya kemungkinan itu).
Sekarang bayangkan Anda adalah juga pemilik suatu usaha kecil pada suatu negara berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar transaksi Anda adalah transaksi informal, keuntungan Anda tidak besar dan tidak bisa diprediksi, dan Anda tidak memiliki keterampilan dalam bidang akuntansi dan manajemen. Anda mungkin malah tidak menyadari akan kewajiban pajak Anda. Jadi bagaimana pemerintah dapat meningkatkan kepatuhan pajak sektor UKM?
Selain masalah uang, sistem perpajakan juga membawa sejumlah beban bagi wajib pajak. Bukan hanya faktor waktu, wajib pajak juga menghadapi ketidakpastian, kecemasan, dan kebingungan, yang dapat membatasi pengetahuan, kemauan, dan kemampuan mereka dalam membayar pajak.
Sumber pendapatan besar yang belum dimanfaatkan
Indonesia, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki hampir 60 juta UKM. Sektor ekonomi yang besar itu menyumbang sekitar 60% nilai tambah domestik, 97% penyerapan tenaga kerja, serta 15% ekspor negara (ADB SME Monitor 2020).
Hal ini menunjukkan bahwa UKM berpotensi untuk memberikan sumbangan yang signifikan bagi pendapatan negara. Pemerintah kemudian mengadakan reformasi perpajakan pada tahun 2016 untuk melakukan modernisasi sistem pungutan pajak dan memberikan insentif untuk pelaporan dan pemenuhan kewajiban pajak. Pemerintah lalu mengadakan reformasi lanjutan pada tahun 2018 (Peraturan Pemerintah PP 23/2018), yang memperluas dasar pengenaan pajak bagi UKM dan memangkas tarif pajaknya.
Saat ini UKM dengan pendapatan kotor tahunan di bawah Rp 4,8 miliar (sekitar USD 335.000) wajib melapor dan membayar pajak sebesar 0,5% dari omzet bulanan mereka. Namun sebagian besar UKM bersifat informal, dengan akses yang terbatas pada sumber daya finansial, legal dan digital. Akibatnya, jumlah UKM yang memenuhi kewajiban pajaknya hanya mencapai 15% dari seluruh UKM yang terdaftar (Direktorat Jenderal Pajak 2018).
Tahu, mau, mampu
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), otoritas perpajakan Indonesia, tim Bank Dunia di Indonesia,serta tim Mind, Behavioral, and Development Unit (eMBeD) memulai upaya untuk memahami kendala-kendala yang dihadapi UKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tim-tim tersebut melakukan penelitian untuk menyelidiki pengetahuan (TAHU), kemauan (MAU) dan kemampuan (MAMPU) para pemilik dan pengelola dari 750 UKM dalam membayar pajak (IPSOS 2016).
Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar UKM tidak sepenuhnya mengetahui tentang persyaratan, prosedur, dan manfaat dari kebijakan perpajakan. Terlebih lagi, mereka tidak mengetahui tentang kewajiban perpajakan mereka dan tidak dapat menemukan informasi mengenai hal tersebut.
Kemauan para pelaku UKM untuk memenuhi kewajiban pajak mereka terutama dipengaruhi oleh rasa tanggung jawab sebagai warga negara, perasaan lega setelah membayar pajak, serta kemudahan untuk memperoleh izin usaha. Namun, bagi sebagian besar pelaku UKM, mereka tidak melihat bahwa denda ataupun pengawasan dari pihak otoritas perpajakan sebagai alasan yang cukup kuat untuk membayar pajak. Hal ini menunjukkan rendahnya penegakan aturan perpajakan di mata pelaku UKM.
Kemudian, para pemilik UKM selaku responden, merasa bahwa usaha mereka tidak cukup besar ataupun stabil untuk menanggung beban pajak. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya sifat informal dalam UKM merupakan tantangan struktural bagi pemenuhan kewajiban pajak di Indonesia.
Mengatasi kendala
Tim DJP dan Bank Dunia bermaksud untuk mengatasi beberapa kendala yang jumpai di penelitian awal, dan meningkatkan kesadaran pengetahuan dan kemauan UKM untuk membayar pajak. Kedua tim merancang 3 jenis kalender meja sebagai alat pengingat kewajiban pajak bulanan yang bisa digunakan sepanjang tahun dan menyampaikan pesan-pesan yang disusun menggunakan ilmu pendekatan perilaku.
Kalender pertama, berisikan informasi singkat tentang pajak. Pesan-pesan yang disampaikan misalnya langkah praktis untuk menghitung jumlah pajak yang jatuh tempo, daftar opsi sarana pembayaran serta ada pengingat tanggal jatuh tempo. Di antara pesan-pesan itu, juga dimasukkan slogan yang menarik, BIJAK (singkatan dari Bisnis Taat Pajak).
Kalender kedua, berisikan informasi singkat yang ada di kalender pertama dan menekankan pemanfaatan pajak bagi masyarakat. Kalender ini juga berisikan gambar-gambar bagaimana sumbangan pajak berdampak pada pemerataan pendapatan yang lebih baik, pembangunan infrastruktur publik serta akses untuk pendidikan bagi siswa yang kurang mampu.
Kalender ketiga, berisikan informasi yang ada di kalender pertama, namun ditambahkan pesan-pesan ancaman bernama keras. Pesan-pesan dalam kalender ketiga menekankan pada kemampuan pemantauan dari pengawas pajak, potensi denda, dan pengingat umum untuk menghindari kerumitan yang timbul akibat denda pajak.
Untuk mengukur efektivitas dari masing-masing intervensi tersebut, kedua tim mengirimkan kalender kepada 18 ribu UKM secara acak. Upaya ini didukung oleh 40 Kantor Pajak Pratama (KPP) yang tersebar di Pulau Jawa. Kedua tim kemudian memantau pembayaran pajak bulanan dari masing-masing UKM penerima kalender, serta 6000 UKM lain yang menjadi kelompok kontrol yang tidak menerima kalender dari penelitian ini.
Hasil yang nyata
Hasil uji coba di Indonesia sangat efektif dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Setelah 15 bulan, tingkat pembayaran pajak bulanan kelompok yang menerima kalender meningkat sebesar 4% dan jumlah pembayaran pajaknya meningkat sebesar 7%, dibanding dengan kelompok yang tidak menerima kalender.
Yang menarik, dari intervensi-intervensi yang dilakukan terlihat mempengaruhi perilaku pelaku UKM secara berbeda. Kalender dengan pesan ancaman bernada keras meningkatkan tingkat pembayaran sebanyak 5% dari UKM-UKM yang sebelumnya tidak patuh membayar pajak, dibanding dengan UKM yang tidak patuh dalam kelompok kontrol. Bagi pelaku UKM yang sebelumnya sudah patuh, jumlah pajak bulanan yang dibayarkan meningkat sebesar 12% setelah menerima kalender berisi informasi singkat serta kalender yang menekankan pemanfaatan pajak bagi masyarakat, dibandingkan dengan UKM yang patuh di dalam kelompok kontrol
Penelitian ini menunjukkan bagaimana penggunakan pendekatan ilmu perilaku dapat berdampak besar pada kebijakan pajak, dengan biaya yang kecil. Dalam analisis biaya-manfaat, terlihat bahwa jumlah pemasukan bersih dari hasil penelitian ini adalah sebesar Rp 28.9 miliar (sekitar USD 2 juta), yang merupakan peningkatan sebesar 3% bagi KPP-KPP yang terlibat.
Melihat hasil-hasil yang positif tersebut, DJP akan meningkatkan cakupan intervensi, mengirimkan kalender ke kelompok lebih banyak WP di seluruh Indonesia. Selain itu, tim Bank Dunia akan melanjutkan dukungannya kepada otoritas perpajakan di negara-negara berkembang untuk meningkatkan pendapatan dalam negeri dengan cara-cara inovatif untuk mengurangi beban psikologis dari sistem perpajakan.
Jika Anda ingin mempelajari lebih lanjut tentang proyek ini, ikuti tautan ini untuk mengakses ringkasan hasil atau tautan ini untuk melihat laporan kegiatan. Untuk contoh-contoh lain tentang penggunaan pendekatan perilaku Bank Dunia dalam peningkatan kepatuhan pajak, ikuti tautan Ini.
Join the Conversation