Musim gugur lalu saya kaget membaca judul berita ini: Kebakaran hutan di Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca setara seluruh ekonomi Amerika Serikat.
Judul lain berbunyi: Antara Juni dan Oktober 2015, lahan sebesar 2,5 juta hektar – atau 4,5 kali luas Bali – terbakar guna membersihkan lahan untuk produksi minyak kelapa sawit, tanaman hasil hutan non-kayu dengan nilai tertinggi, terdapat dalam, antara lain, produk makanan, kosmetik dan biofuel.
Belum lama ini, bersama Vice President for Sustainable Development Laura Tuck dan Indonesia Country Director Rodrigo Chaves, saya mengunjungi Sumatra Selatan, salah satu provinsi yang paling menderita akibat kebakaran hutan.
Kami melihat berbagai ilalang dan tanda-tanda lanskap rusak yang lain, mengganti kawasan hutan gambut yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Kami berbicara dengan masyarakat setempat yang menjelaskan bahwa mereka menutup pintu dan jendela dengan handuk basah agar mengurangi asap. Keluarga mereka termasuk dari setengah juta warga yang menderita gangguan pernapasan serta sakit kulit dan mata akibat kebakaran hutan. Anak-anak mereka termasuk diantara 4,6 juta siswa yang tidak bisa sekolah, bahkan selama beberapa minggu, akibat kebakaran hutan.
Namun walaupun banyak keluarga kehilangan pemasukan karena usaha mereka terpaksa tutup sementara, ada juga yang mengatakan api itu memperbaiki kondisi tanah setempat.
Patut diakui, ada juga yang diuntungkan oleh kebakaran hutan, walaupun jumlah mereka lebih sedikit. Permintaan terhadap minyak kelapa sawit sangat tinggi. Setengah dari jumlah global produksi minyak kelapa sawit berasal dari Indonesia, 75% untuk ekspor.
Membersihkan lahan gambut menjanjikan keuntungan yang cepat: $3.000 per hektar setelah tiga tahun memproduksi minyak kelapa sawit. Dengan perhitungan ini, kebakaran hutan tahun lalu bisa menghasilkan $8 milyar. Tetapi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan, di mana tingkat kemiskinan bisa dua kali lipat rata-rata nasional, merasakan sedikit manfaat.
Produksi lahan gambut berkontribusi kurang dari 1% kepada ekonomi Indonesia. Tetapi penegakan hukum kurang mempan menghadapi laju pengembangan lahan gambut, dan kebakaran terus berlanjut.
Menggunakan metodologi penghitungan kerugian dan kerusakan pasca bencana, analisa Bank Dunia menunjukkan bahwa kebakaran – yang mencapai lebih dari 10.000 mil per segi -- telah merugikan Indonesia sebesar $16,1 milyar pada tahun 2015, setara dengan 1,9% PDB.
Nilai $16 milyar ini lebih besar dari nilai produksi minyak kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2014, dan dua kali biaya pembangunan kembali Aceh pasca tsunami 2004.
Di satu titik di tepi Sungai Musi di Sumatra Selatan, kami melihat secara nyata dampak dari kebakaran dan pengembangan lahan dataran rendah yang tidak berkelanjutan: sebuah taman nasional yang kini luasnya hanya setengah akibat kebakaran hutan tahun lalu, ribuan hektar perkebunan minyak kelapa sawit dan perkebunan kayu, serta pabrik kertas – hampir selesai dibangun – yang akan menjadi yang terbesar di dunia.
Banyak pihak meminta agar kebakaran dihentikan secara total. Argumen mereka sederhana. Peraturan yang ada saat ini mengizinkan petani membakar lahan asal jumlah area kurang dari dua hektar. Tetapi api bisa menyebar tanpa kendali, atau metode tersebut digunakan sebagai alasan oleh pihak-pihak yang tidak jujur. Api di lahan gambut bertahan jauh lebih lama, lebih sulit dipadamkan, dan menghasilkan emisi lebih banyak dari pada kebakaran di tanah jenis lain.
Jadi bagaimana nasib para petani kecil, yang mengatakan bahwa api adalah cara termurah untuk membersihkan lahan? Apakah ada acara lain yang dapat membantu para petani kecil namun tidak merusak lingkungan? Pendekatan ini bisa menyertakan pembatasan api pada saat-saat tertentu dan di tempat tertentu, selain juga pembatasan pembersihan lahan di wilayah sensitif.
Dukungan bagi para petani kecil dapat melengkapi rencana pemerintah guna memulihkan lahan gambut – sebuah langkah yang penting dan tepat. Tindak lebih lanjut perlu sama tegasnya: memperbaiki manajemen kebakaran; memperkuat informasi mengenai lahan melalui inisiatif Satu Peta; serta mengelola dan memulihkan lahan gambut Indonesia.
Mengapa fokus pada kebakaran? Karena manajemen kebakaran kini terfokus pada pemadaman, meskipun berbagai studi menunjukkan bahwa $1 guna mencegah kebakaran bisa menghemat $30 untuk pemadaman. Perhatian perlu berfokus pada risiko cuaca, bahan bakar (seperti gambut atau sisa kayu), atau konflik sosial, dan perbaikan sistem pelacakan dan tanggapan, serta penerapan mekanisme yang dapat cepat mengantar peralatan dan sumberdaya. Di Sumatra Selatan, beberapa selang pemadam hanya menjangkau beberapa ratus meter. Ini tidak cukup.
Prioritas berikut adalah menyusun Satu Peta, yang dapat mengumpulkan informasi lahan di seluruh Indonesia ke dalam satu payung. Tanpa perbatasan jelas yang disetujui, dan sebuah pendaftaran tunggal bagi lahan publik, manajemen lahan dan kebakaran mustahil dilakukan. Satu Peta juga akan mempermudah masalah kepemilikan lahan.
Tindakan ketiga yang penting dilakukan adalah melindungi lahan gambut. Adanya Badan Restorasi Gambut sangat menjanjikan. Tetapi memulihkan 2 juta hektar lahan gambut dalam waktu 5 tahun memerlukan dukungan kuat dari instansi lain, misalnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Di masa lalu, pengembangan lahan gambut tidak terkoordinasi. Apakah Indonesia bisa mendorong pengembangan di beberapa wilayah dataran rendah, sambil memperbaiki manajemen air dan lahan di daerah gambut? Beberapa wilayah hutan juga perlu dikonservasi.
Manajemen lanskap adalah sesuatu yang sifatnya jangka panjang, mahal, dan ambisius. Untuk mencapai keberhasilan, diperlukan reorganisasi struktural, pembagian tugas dan institutional authority, penentuan wilayah “gambut dalam” dan klasifikasi ulang zona dan penggunaan lahan. Mekanisme keuangan dan fiskal untuk berbagai inisiatif tersebut juga perlu dipastikan.
Apakah berbagai investasi tersebut bisa dan akan berjalan? Apakah Indonesia bisa membangun ekonomi yang kuat di dataran rendah sambil melindungi sumberdaya alamnya?
Join the Conversation