Hari Perempuan Internasional tahun ini didedikasikan untuk menghargai kontribusi perempuan dan anak-anak perempuan di seluruh dunia yang turut memimpin upaya adaptasi iklim serta memperkuat ketangguhan untuk membangun masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua.
Bencana alam dan perubahan iklim cenderung memengaruhi kelompok rentan secara lebih buruk, terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan. Namun, seringkali mereka kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan. Dalam forum-forum pengurangan risiko bencana di tingkat desa di Indonesia, jumlah perempuan biasanya hanya sepertiga dari perwakilan masyarakat yang hadir. Selain itu, norma, nilai budaya, dan hierarki yang bersifat diskriminatif terus memperburuk ketidaksetaraan dan meningkatkan risiko bagi perempuan dan anak-anak perempuan, seperti misalnya dalam hal risiko terpapar kekerasan berbasis gender (KBG) pada konteks pascabencana.
Sebagai contoh, ketika proses konstruksi dalam program pemulihan pascabencana dimulai, daerah yang terkena bencana sering mengalami gelombang masuk pekerja dari daerah lain, yang bermigrasi dengan cepat, dan kemudian mendirikan permukiman di daerah-daerah tersebut. Ketika hal ini terjadi, risiko KBG dapat meningkat, terutama karena pekerja-pekerja konstruksi ini bekerja di dalam atau di sekitar komunitas yang sudah rentan akibat bencana alam, sehingga kemungkinan terjadinya ketegangan sosial cenderung meningkat. Hal ini dapat diakibatkan, misalnya, oleh kondisi sosial yang tidak setara antara masyarakat yang terkena dampak bencana dan pekerja yang baru tiba, berkurangnya privasi perempuan dan anak-anak perempuan di hunian sementara, serta perubahan dinamika sosial.
Astriana Harjanti dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) adalah salah satu dari banyak pemimpin yang mencoba mengakomodasi kebutuhan unik perempuan dan anak-anak perempuan dalam konteks pascabencana, yang merupakan salah satu prioritas kunci bagi pemerintah. Salah satu pelajaran utama yang dipetik adalah bahwa masalah sosial adalah permasalahan penting dalam proses rekonstruksi, yang membutuhkan perhatian khusus. Saat berbicara di acara daring yang diselenggarakan baru-baru ini oleh Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR), beliau menjelaskan bagaimana Kementerian PUPR telah mengintegrasikan upaya inklusi gender dalam proyek Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP).
“Kolaborasi antar pemangku kepentingan, termasuk di tingkat pusat dan daerah serta dengan kelompok perwakilan perempuan setempat maupun penyedia layanan KBG selama siklus hidup proyek adalah kunci untuk menerapkan desain akses universal dan mengambil tindakan untuk memitigasi KBG … setiap orang memiliki tanggung jawab dalam hal ini.” – Astriana Harjanti, KemenPUPR
Berikut adalah enam praktik baik yang telah diadopsi KemenPUPR di Sulawesi Tengah dengan dukungan dari GFDRR.
- Terapkan perencanaan inklusif gender dan mitigasi risiko KBG sejak awal. Indikator-indikator utama proyek CSRRP termasuk: (i) perempuan yang sadar akan hak kepemilikan tanah atau properti; (ii) perempuan yang sadar akan kesempatan kerja yang berhubungan dengan kegiatan pemulihan; (iii) perempuan yang berpartisipasi dalam pertemuan proses pengambilan keputusan; dan (iv) fasilitas umum yang direkonstruksi secara inklusif gender dan disabilitas. Fasilitator masyarakat di Sulawesi Tengah bekerja untuk melaksanakan inisiatif terkait. Meningkatkan kesadaran perempuan tentang hak kepemilikan properti dan tanah dapat membantu untuk memberdayakan mereka.
- Pastikan risiko KBG menjadi bagian inti dari analisis risiko awal selama persiapan proyek. Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMF) untuk CSRRP menyediakan seperangkat prinsip panduan manajemen risiko KBG. Prinsip-prinsip tersebut termasuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan penyintas KBG dalam konteks pascabencana, menghormati kerahasiaan pelapor dan penyintas, dan menghormati pilihan dan kebutuhan penyintas.
- Identifikasi siapa yang dapat menjadi champion dan membangun kesadaran semua pemangku kepentingan proyek. Keberhasilan penerapan kebijakan bergantung kepada peningkatan kesadaran dan pemahaman para pemangku kepentingan tentang isu-isu gender. CSRRP memiliki focal point gender di Kementerian PUPR dan staf ahli purnawaktu untuk KBG. Pelatihan teknis dan lokakarya pemangku kepentingan telah membantu untuk memperjuangkan inklusi gender dan meningkatkan capaian proyek. Misalnya, pelibatan kelompok perempuan setempat sejak awal telah membantu dalam peningkatan keamanan unit hunian tetap, melalui rekomendasi mereka untuk memasang dinding partisi tambahan yang berfungsi menjaga privasi, serta meningkatkan kualitas desain permukiman dan perumahan melalui desain penerangan jalan.
- Kembangkan metode atau perangkat praktis bagi staf teknis dan perancang proyek guna menerapkan aksesibilitas universal pada semua infrastruktur yang direkonstruksi dan direhabilitasi. Di Sulawesi Tengah, metode dan perangkat praktis yang dimaksud di sini di antaranya adalah lokakarya desain dengan kelompok yang berfokus kepada kebutuhan perempuan dan penyandang disabilitas; penyusunan pedoman, daftar periksa audit, dan video pendek desain universal yang spesifik kepada proyek; serta pelatihan teknis rutin untuk konsultan proyek.
- Tetapkan mekanisme pelaporan, kode etik, dan praktik manajemen kontrak tingkat proyek yang baik. Mekanisme pelaporan kasus KBG yang mudah diakses, rahasia, dan terfokus pada penyintas, serta dilengkapi dengan saluran pelaporan yang aman, dapat membantu mengurangi risiko terjadinya KBG di dalam proyek dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya isu ini. Pekerja proyek harus menandatangani kode etik, dan klausul-klausul khusus yang melarang pekerja terlibat dalam kegiatan yang dapat meningkatkan risiko KBG harus dimasukkan ke dalam kontrak konstruksi dan pekerjaan. Kontraktor harus mengakomodir ketentuan dan jadwal khusus pada anggaran konstruksi untuk secara berkala melakukan kegiatan peningkatan kesadaran mitigasi risiko KBG dan manajemen insiden.
- Bangun kolaborasi dengan penyedia dan mitra layanan setempat. Kemitraan setempat sangat penting, baik dengan LSM setempat, lembaga pemerintah, layanan kesehatan masyarakat, atau penyedia layanan lain yang memiliki pengetahuan yang baik tentang konteks setempat dan sebisa mungkin berpengalaman dalam menangani kasus KBG selama dan setelah bencana.
Selama bertahun-tahun Indonesia telah menunjukkan peningkatan komitmen untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam konteks pascabencana. Dalam konteks proyek pascabencana yang dinamis, diperlukan kewaspadaan terus menerus dan pendekatan pemecahan masalah yang proaktif untuk beradaptasi dan mengurangi risiko KBG.
Dengan semangat ini, Bank Dunia siap untuk terus mendukung upaya Indonesia dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak-anak perempuan serta memperkuat kontribusi mereka terhadap pertumbuhan jangka panjang negara.
Informasi Terkait:
- Sumber daya GFDRR: Manajemen Risiko Bencana Inklusif & Kesetaraan Gender
- Video: Mitigasi GBV dalam Konteks Pascabencana – Pembelajaran dari Sulawesi Tengah
- Catatan praktik yang baik: Mitigasi GBV dalam Konteks Pascabencana - Pembelajaran dari Sulawesi Tengah
- Catatan praktik baik: Mengatasi Eksploitasi serta Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual dalam Pendanaan Proyek Investasi yang melibatkan Pekerjaan Sipil Besar
- Laporan: Buku Panduan untuk Perencanaan dan Desain Kota yang Inklusif Gender
- Blog: Empat pelajaran yang dipetik dari pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah, Indonesia
- Blog: Bencana Sulawesi Tengah: Peluang untuk memperkuat ketahanan jalan dan jembatan di Indonesia?
- Siaran pers: Pemulihan yang Tangguh melalui Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Sulawesi Tengah
- Proyek: Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Sulawesi Tengah, Indonesia
Join the Conversation