Jembatan Palu IV, atau umumnya biasa disebut Jembatan Ponulele Kuning, merupakan jembatan lengkung baja pertama di Indonesia yang menghubungkan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat, yang menyuguhkan pemandangan laut biru yang spektakuler dengan latar belakang pegunungan di Sulawesi. Jembatan ini telah menjadi simbol daya tarik kota dan tempat bagi penduduk lokal dan wisatawan untuk berkumpul dan bersosialisasi sambil menikmati pemandangan dan berfoto. Jembatan ini merupakan ikon bagi kota Palu. Mengandung makna seperti halnya jembatan Golden Gate atau Jembatan Brooklyn bagi penduduk dan pengunjung Palu, tiba-tiba saja mereka kehilangan tempat memandang matahari terbenam favorit mereka ketika Jembatan Kuning itu runtuh di tahun 2018 pada saat gempa bumi dan tsunami yang tragis melanda Sulawesi Tengah. Sayangnya, banyak jembatan dan jalan lainnya yang mengalami nasib yang sama.
Setiap tahun, bencana alam menyebabkan korban jiwa dalam jumlah yang cukup besar diseluruh dunia, serta kerusakan parah, baik secara terukur hingga tak ternilai, yang mempengaruhi rata-rata 218 juta orang dan secara keseluruhan menyebabkan kerugian lebih dari 300 Miliar Dollar AS. Peristiwa bencana alam menghancurkan prasarana dan mengganggu pelayanan publik. Indonesia terdampak relatif lebih parah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, setiap tahunnya menghabiskan sekitar 300 hingga 500 juta Dollar AS untuk pemulihan dari dampak bencana. Prasarana jalan dan jembatan terkena dampak yang parah, dengan kerusakan hingga total ratusan kilometer di seluruh negeri dalam 20 tahun terakhir, di mana hampir 65% diantaranya disebabkan oleh banjir, diikuti oleh kombinasi antara gempa bumi dan tsunami yang menyebabkan lebih 30% dari seluruh kerusakan yang terjadi.
Gempa bumi berkekuatan 7,5 skala Richter dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah pada bulan September 2018 sangatlah tragis, menimbulkan 4.402 korban jiwa, sekitar 170.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan kerugian ekonomi sebesar 1,3 Miliar Dollar AS. Jalan dan jembatan yang rusak parah menyebabkan masyarakat tidak punya akses menuju lokasi berbagai layanan penting, mempersulit penanganan bencana serta tanggap darurat yang seharusnya dapat dilakukan secara cepat. Bank Dunia telah mendukung Pemerintah Indonesia dalam pemulihan kawasan tersebut, antara lain melalui rekonstruksi aset, bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Dalam hal ini, komponen Kontingensi untuk Penanggulangan Risiko Bencana dari pinjaman Proyek Jalan yang sedang berjalan senilai 250 juta Dollar AS telah dicetuskan untuk mendukung rehabilitasi maupun rekonstruksi jalan dan jembatan. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bermitra dengan Bank Dunia dalam program bantuan teknis, dengan dukungan dari Fasilitas Pendanaan Global untuk Pengurangan dan Pemulihan dari Bencana, untuk mensosialisasikan pengintegrasian prinsip-prinsip ketahanan terhadap bencana dan iklim secara sistematis ke dalam seluruh tahapan pada proyek-proyek jalan dan jembatan.
Basis data bencana nasional dan sistem penilaian risiko bencana juga telah ditinjau. Hal ini menegaskan pentingnya memfokuskan pada bencana-bencana spesifik yang berdampak lebih besar pada jalan dan jembatan dibandingkan dengan bencana lainnya di Indonesia, di mana dampaknya dapat dikurangi melalui penyempurnaan pedoman dan spesifikasi teknis. Secara lebih khusus, analisis tersebut mengungkapkan bahwa ada empat jenis bahaya yang menyebabkan dampak paling signifikan terhadap jaringan jalan, yakni: tanah longsor, banjir, tsunami dan gempa bumi.
Studi tentang kebijakan nasional Indonesia mengungkapkan bahwa meskipun sebagian besar kebijakan tersebut bersifat komprehensif dan umumnya memadai untuk meningkatkan ketahanan infrastruktur jalan dan jembatan, peluang untuk menyempurnakan perencanaan, desain, pengoperasian dan pemeliharaan serta praktik rehabilitasi/ rekonstruksi telah teridentifikasi. Berikut adalah beberapa temuan utama dan rekomendasi yang disarankan:
- Runtuhnya lereng di sisi jalan sering terjadi karena ketidakstabilan lereng yang disebabkan oleh aliran air dan erosi, yang diperburuk oleh fakta bahwa tidak selalu memungkinkan untuk merancang pemotongan lereng dengan karakteristik yang ideal. Untuk mengatasi kegagalan seperti ini, maka direkomendasikan untuk (1) menerapkan metode-metode desain baru dan parameter karakteristik bebatuan telah diperkenalkan untuk mengembangkan solusi yang lebih dapat disesuaikan dengan kondisi setempat; (ii) menggunakan solusi teknis untuk menangani lereng yang curam seperti paku tanah dengan perlindungan permukaan lereng dari bahan geotekstil, jaring kawat, atau deretan pancang yang membentuk dinding, dan (iii) membangun sistem drainase yang efektif dengan pemeliharaan serta pemantauan khusus diterapkan pada lokasi-lokasi yang dinilai kritis.
- Pentingnya meningkatkan kesadaran akan kegunaan peta risiko bencana dan sistem informasi yang terus diperkuat untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi kritis di sepanjang jaringan jalan untuk merencanakan tindakan intervensi peningkatan ketahanan yang bersifat preventif, sehingga dapat mengurangi kerusakan infrastruktur serta biaya rehabilitasi pasca-bencana.
- Perlu dilakukannya penilaian lebih lanjut tentang kerusakan sebelum dan sesudah kejadian bencana, termasuk melakukan analisis secara lebih spesifik pada lokasi, seperti analisis kapasitas hidrolik fondasi jembatan, dan lebih sering melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus yang dinilai penting.
Sebagai negara yang sangat rawan terhadap kejadian bencana alam, Indonesia berkomitmen untuk menangani secara komprehensif dampak bencana terhadap kehidupan dan prasarana. Pemerintah terus bekerja secara intensif untuk meningkatkan kualitas dari berbagai spesifikasi, pedoman dan pelaksanaan yang dibuat untuk meningkatkan ketahanan jalan dan jembatan terhadap kejadian bencana, yang pada akhirnya bertujuan mengurangi kerusakan materi dan non-materi serta besarnya biaya secara keseluruhan. Nilai penting jalan dan jembatan sangat bergantung pada fungsi ekonominya, menghubungkan daerah yang sebelumnya terisolasi kepada berbagai peluang yang terbuka, tetapi juga bergantung kepada fungsi pengikat sosialnya, yaitu saling mendekatkan manusia. Tujuan akhirnya adalah untuk menghindari dampak yang diakibatkan oleh gempa bumi, tsunami, atau banjir besar yang mungkin akan terjadi di masa mendatang mengakibatkan kerusakan sosial dan ekonomi yang parah, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah pada tahun 2018.
Join the Conversation